Selain memiliki cerita sejarah, Jurang Kuping Surabaya juga memiliki mitos yang dipercaya warga sekitar Rejosari Benowo. Wisata yang terletak di perbatasan Surabaya-Gresik ini dipercaya sebagai tempat dikumpulkannya potongan telinga tentara Belanda.
"Jadi mitosnya itu, banyak telinga kolonial atau penjajah dari Belanda yang dipotong dan dikumpulkan di situ (lokasi waduk Jurang Kuping)," ujar Ketua Paguyuban Warung dan Petani Siwalan, Samiaji kepada detikJatim, Kamis (23/11/2023).
Samiaji mengatakan Jurang Kuping tak bisa lepas dari Desa Kepatihan, Menganti, Gresik. Saat itu, Desa Kepatihan merupakan tempat atau keraton seorang Patih di jaman Majapahit.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Dari cerita leluhur saya, dulunya kepatihan itu adalah tempat seorang patih zaman Majapahit. Makanya namanya Kepatihan. Kalau di sini (Rejosari) dulu namanya Kerut (Keraton Utama)," jelas Samiaji.
![]() |
Karena saat itu Belanda sering semena-mena pada rakyat, Patih tersebut memerintahkan pasukannya untuk melawan Belanda. Setelah mengalahkan pasukan Belanda, Patih memerintahkan memotong telinga pasukan tersebut dan dikumpulkan.
"Seiring berjalannya waktu, pasukan Belanda yang mengetahui hal itu, menyerbu Kepatihan dan Kerut. Namun banyak pasukan Belanda yang mati dan telinga mereka dipotong," tambahnya.
Tujuan dikumpulkannya telinga tersebut, sebagai pengingat dan peringatan bagi pasukan Belanda. Agar tidak melawan Patih tersebut dan tidak menggangu kedamaian di sekitar Kepatihan.
"Jadi telinga-telinga pasukan Belanda itu dikumpulkan dan semakin menumpuk. Ini sebagai peringatan kepada pasukan Belanda agar tidak semena-mena di wilayah Kepatihan," tuturnya.
Samiaji menceritakan karena tumpukan telinga tersebut semakin banyak, membuat tanah di bawahnya yang keropos karena faktor alam tidak bisa kuat menampung. Sehingga tanah tersebut ambles dan membentuk kubangan.
"Karena faktor alam dan tak kuat menahan beban telinga karena saking banyaknya, tanah di bawah potongan telinga tersebut ambruk dan membentuk kubangan. Sehingga dinamakan Jurang Kuping," beber Samiaji.
Meski demikian, Samiaji masih belum bisa memastikan cerita tersebut benar atau hanya mitos. Sebab, hingga saat ini belum ada bukti yang menunjukan kebenaran cerita tersebut.
"Ini semua hanya cerita dari nenek moyang yang turun temurun diceritakan kepada kami. Terutama tokoh-tokoh masyarakat sekitar sini. Untuk benar atau tidaknya kita tidak bisa membuktikan, karena belum ada candi atau catatan sejarah atau bukti lainnya yang menunjukan cerita itu benar adanya," pungkas Samiaji.
(sun/iwd)