Tradisi Larungan Kambing Kendhit dan Buceng Alit di Telaga Ngebel Ponorogo

Tradisi Larungan Kambing Kendhit dan Buceng Alit di Telaga Ngebel Ponorogo

Savira Oktavia - detikJatim
Senin, 23 Okt 2023 12:30 WIB
Prosesi larung sesaji Telaga Ngebel
Prosesi larung sesaji Telaga Ngebel/Foto: detikcom/Charolin Pebrianti
Ponorogo -

Masyarakat Jawa masih sangat terpengaruh dengan budaya kedaerahan. Kebudayaan ini dipercaya sebagai peninggalan nenek moyang yang memiliki nilai-nilai luhur. Sama halnya dengan tradisi larungan di Kabupaten Ponorogo.

Ponorogo merupakan sebuah wilayah kabupaten yang terletak di sebelah barat Provinsi Jawa Timur, dan berbatasan langsung dengan Provinsi Jawa Tengah. Jumlah penduduk yang mendiami Kabupaten Ponorogo sebesar 964 ribu jiwa.

Terdapat upacara tradisional di Ponorogo, yang melibatkan masyarakat setempat dengan tujuan mencari keselamatan secara bersama-sama, yaitu larungan. Tradisi ini dilakukan dengan cara memberikan sesaji kepada makhluk halus yang berkuasa di suatu tempat.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Biasanya tradisi ini diselenggarakan di Telaga Ngebel, sebuah tempat yang dianggap keramat karena rawan terjadi kecelakaan hingga merenggut korban jiwa. Sejarah kemunculan tradisi ini berawal dari legenda di Desa Ngebel, tepatnya Telaga Ngebel.

Telaga Ngebel adalah danau alami yang berada di kaki Gunung Wilis, Kecamatan Ngebel. Pelaksanaan tradisi larungan di sini tidak lepas dari sistem kepercayaan kejawen yang masih dianut masyarakat Jawa.

ADVERTISEMENT

Legenda Telaga Ngebel

Legenda Telaga Tebel mengisahkan tentang sepasang suami istri yang memohon kepada Dewa agar diberikan keturunan. Dewa pun lantas mengabulkan permohonannya dan memberikan pasangan itu keturunan. Namun, yang dilahirkannya justru seekor ular naga. Anak itu diberi nama Baruklinting.

Pasangan suami istri itu tidak berhenti memohon kepada Dewa supaya anak mereka dapat berubah wujud menjadi manusia seutuhnya. Sampai akhirnya keduanya menemukan petunjuk ketika bertapa di sebuah gua.

Petunjuk itu berbunyi, apabila menginginkan anak mereka berubah menjadi manusia, Baruklinting harus bertapa dan melingkari tubuhnya di sekeliling Gunung Wilis selama 300 tahun.

Setelah hampir 300 tahun berlalu, tubuh Baruklinting tak kunjung mengalami perubahan. Ia pun menjulurkan lidahnya supaya dapat melingkari Gunung Wilis dengan sempurna. Namun, usahanya itu berujung sia-sia karena kedua orang tuanya memotong lidahnya dan mengubahnya menjadi tombak.

Baruklinting tetap melanjutkan pertapaannya, hingga suatu hari masyarakat desa hendak menyelenggarakan hajatan pernikahan untuk anak kepala desa. Masyarakat desa bergotong royong mencari kayu bakar di hutan. Ketika salah seorang dari mereka memotong kayu, di luar dugaan kayu tersebut mengeluarkan darah. Batangnya juga dipenuhi daging.

Tanpa berpikir panjang, warga desa mengambil daging tersebut dan membagikannya kepada warga desa lainnya. Setelah dagingnya habis dilahap warga, Baruklinting berubah menjadi seorang manusia dengan wujud anak kecil.

Baruklinting pun mendatangi hajatan tersebut, dan meminta makan. Namun, mereka justru mengusir dan menghinanya. Hanya seorang wanita tua bernama Nyi Latung yang menolongnya. Baruklinting mengarahkan kepada Nyi Latung agar naik ke atas lesung.

Keesokan harinya, Baruklinting mengadakan sayembara mencabut batang lidi yang ia tancapkan ke tanah. Tak ada satupun yang memenangkan sayembara. Sampai akhirnya Baruklinting mencabut lidi itu dengan sendirinya.

Seketika mengalir air yang begitu deras dari lubang bekas tancapan lidi. Aliran air itu perlahan-lahan menenggelamkan desa beserta isinya dan menjadi sebuah danau yang diberi nama Telaga Ngebel.

Rangkaian Acara Tradisi Larungan

Mengutip jurnal Mitos dan Semiotika Legenda Telaga Ngebel (Tradisi Larungan di Kecamatan Ngebel Kabupaten Ponorogo) karya Nabila Nindya & Aprianto Zulkarnain, tradisi larungan diselenggarakan secara bertahap, yaitu larung malam pada malam satu Suro dengan melarung buceng alit pada malam hari, dan larung pagi yang diadakan tepat tanggal satu Suro.

Sebelum pelaksanaan larung malam, kegiatan diawali menyembelih kambing kendhit ketika hari memasuki siang sebelum malam Suro. Kambing kendhit adalah jenis kambing berwarna hitam dan bagian tengah tubuhnya berwarna putih. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, kambing kendhit simbol kekayaan desa.

Penyembelihan kambing kendhit dilakukan di pintu masuk Telaga Ngebel. Keempat kaki kambing itu nantinya akan dikubur di empat tempat yang telah ditentukan, di mana biasanya tempat tersebut dipercaya sebagai tempat keramat.

Sedangkan bagian lainnya akan dimakan warga. Tersisa darahnya akan ditampung di kuali yang dilapisi kain putih, kemudian dihanyutkan ke muara telaga. Hal ini dipercaya sebagai simbol penguapan hawa nafsu.

Selanjutnya pada malam hari, para sesepuh akan mengadakan tirakatan yang dilanjutkan dengan dian sewu atau seribu pemuda berjalan kaki mengelilingi telaga dengan membawa obor.

Kegiatan ini dibuka dengan serah terima sesaji, kirab, dan diakhiri dengan kegiatan melarung buceng lanang berupa tumpeng nasi beras merah setinggi dua meter di Telaga Ngebel, sebagai puncak perayaan tahun baru Islam atau Suro.

Sementara itu, buceng wadon yang terdiri atas buah-buahan dan sayur-sayuran yang didapatkan dari hasil panen warga dipersiapkan untuk warga yang menyaksikan.

Memasuki waktu pelaksanaan larung pagi, acara dimeriahkan pertunjukan tari gambyong, tari bedaya larung, dan jathil (jaranan). Tidak lupa pembacaan doa serta pujian-pujian, istighosah, dan tahlil akbar di tempat khusus menyelenggarakan kegiatan keagamaan sebagai ungkapan syukur atas rezeki yang dilimpahkan Tuhan.

Itulah informasi mengenai tradisi larungan di Ponorogo dengan tujuan agar terhindar dari bencana, terutama bencana yang terjadi di sekitar telaga.

Artikel ini ditulis oleh Savira Oktavia, peserta Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom.




(irb/sun)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads