Hari Santri Nasional diperingati tanggal 22 Oktober setiap tahunnya. Apakah detikers tahu asal-usul kata santri?
Tujuan diadakannya Hari Santri Nasional sebagai bentuk penghormatan terhadap peran santri dan ulama dalam memperjuangkan kemerdekaan. Tanggal Hari Santri Nasional berdasarkan waktu tercetusnya Resolusi Jihad pada 1945.
Merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), santri merupakan orang yang mendalami agama Islam atau orang yang beribadah dengan sungguh-sungguh atau orang yang saleh. Lantas, dari mana kata santri tersebut berasal? Simak penjelasannya berikut ini.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Asal-usul Kata Santri
Mengutip jurnal Santri dan Nasionalisme karya Iffan Ahmad Gufron, Nurcholish Madjid menyebut ada dua pendapat tentang asal-usul kata santri. Yang pertama, kata santri berasal dari kata shastri dalam bahasa sanskerta yang artinya melek huruf.
Menurut C.C. Berg, istilah shastri diartikan sebagai orang yang tahu buku-buku suci agama Hindu. Hal ini merujuk pada para santri yang berusaha mendalami ilmu agama melalui kitab-kitab bertuliskan Arab asli maupun Arab pegon.
Kedua, kata santri berasal dari kata cantrik dalam bahasa Jawa. Artinya seseorang yang selalu mengikuti seorang guru ke mana guru itu pergi menetap.
Pengamat lain, A. H. John berpendapat bahwa santri berasal dari bahasa Tamil yang berarti guru mengaji. Dari pendapat-pendapat tersebut, disimpulkan bahwa santri adalah seseorang yang mendalami agama melalui kitab-kitab dengan mengikuti guru atau kiai.
![]() |
Baca juga: Lirik Mars Hari Santri: NKRI Harga Mati |
Perkembangan Santri di Indonesia
1. Masa Prakemerdekaan
Pada masa prakemerdekaan, pesantren menjadi lembaga pendidikan agama Islam yang banyak tersebar di seluruh Nusantara. Mayoritas didirikan sebelum Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.
Pada saat itu, tujuan pembentukan pesantren adalah untuk mencerdaskan anak bangsa, agar mereka memiliki kekuatan untuk keluar dari jajahan bangsa asing.
Pesantren membentuk jiwa para santri yang antikolonialisme, dengan tidak mengajarkan bahasa, cara berpakaian, budaya, ilmu para penjajah. Sehingga muncul slogan-slogan, seperti bahasa kafir, budaya kafir, dan sebagainya.
Secara umum, ilmu yang mereka gunakan berdasarkan strategi antikolonialisme dengan berpegang teguh pada kaidah 'man tasyabbaha bi qoumin fabuya minbum', atau barang siapa menyerupai suatu kamu maka ia termasuk ke dalam golongannya.
2. Masa Kemerdekaan
Pada masa kemerdekaan, pesantren mendorong para santri untuk mengambil peran dalam jalur diplomasi politik dan diplomasi, maupun militer.
Pada jalur politik, kaum santri yang berpartisipasi sebagai tokoh-tokoh pergerakan, di antaranya KH Abdul Wahid Hasyim, Ki Bagus Hadikusumo, Mr Mohamad Roem, Abukusno Tjokrosujono, H Agus Salim, dan sebagainya. Beberapa dari mereka juga tergabung sebagai anggota BPUPKI.
Di bidang militer, lahirlah lasykar Pembela Tanah Air yang diikuti oleh kelahiran Lasykar Hizbullah. Awalnya badan kelasykaran ini didirikan untuk membantu Jepang.
Akan tetapi badan tersebut menjadi cikal bakal BKR/TKR, yang merupakan institusi militer pertama di Republik Indonesia. Di mana ada keterlibatan kaum santri di dalamnya.
Resolusi Jihad yang dipelopori oleh KH Hasyim Asy'ari menjadi bukti nyata keterlibatan para santri dalam menjaga dan mempertahankan bangsa Indonesia dari penjajah yang hendak menguasainya, dengan jargon 'bubbul wathoni minal iman'. Itu yang melandasi dibentuknya Hari Santri Nasional oleh Presiden Joko Widodo, berdasarkan waktu pencetusan Resolusi Jihad.
3. Masa Pascakemerdekaan
Keterlibatan pesantren dan para santrinya dapat dilihat melalui proses pendidikan di lembaga pesantren maupun jejak lulusan pesantren di masyarakat. Pesantren mendorong para santri agar belajar sepanjang hayat, baik selama di pesantren maupun sesudahnya.
Tuntutan itu yang menjadikan para santri sebagai seorang pembelajar dalam kehidupan bermasyarakat.
Demikian ulasan singkat mengenai asal-usul kata santri, lengkap dengan perkembangan santri di Indonesia. Semoga bermanfaat!
Artikel ini ditulis oleh Savira Oktavia, peserta Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom.
(/iwd)