Candi Gedog di Sananwetan Blitar menjadi salah satu tempat yang masih menyisakan cerita tersendiri. Bagaimana candi itu berawal dan mengapa dinamakan Gedog?
Keberadaan Candi Gedog tak bisa dilepaskan dari nama Joko Pangon. Bahkan warga sekitar menyebut Candi Gedog dengan nama Candi Pangon. Siapa Joko Pangon?
Karyati (90), istri Sukiman, almarhum juru kunci Situs Joko Pangon mengatakan Joko Pangon menurut cerita adalah orang yang datang dari wilayah barat. Mungkin dari Solo, mungkin berasal dari keluarga bangsawan Mataram Islam atau setidaknya prajurit Mataram.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Joko Pangon dipercaya merupakan orang yang babat alas kawasan Gedog. Datang dari barat, Joko Pangon mengembara atas keinginannya sendiri untuk mencari tak hanya ilmu kanuragan, tetapi juga ilmu pengetahuan.
![]() |
Pengelanaan Joko Pangon berhenti di sebuah permukiman atau desa yang berdekatan dengan hutan. Desa itu adalah Desa Randu Putih. Seorang janda desa lalu mengangkat Joko Pangon sebagai anak.
"Tapi kakung (suaminya) bilang kalau Mbah Pangon itu suaminya janda Randu Putih," ujar Karyati.
Joko Pangon lalu mengerjakan tugas harian ibu angkatnya tersebut seperti mengumpulkan kayu bakar di hutan. Saat mencari kayu bakar, Joko Pangon mendengar suara dari dalam hutan. Ia lalu masuk ke hutan mendatangi asal suara.
Di tengah hutan, Joko Pangon melihat seorang lelaki tua. Orang tua itu menyambut Joko Pangon dengan baik. Bahkan Joko Pangon diajari sejumlah ilmu kanuragan dan bagaimana cara beternak.
Tapi beberapa hari kemudian, Joko Pangon hanya mendapati sebongkah batu besar saat hendak menemui gurunya di dalam hutan. Dari situ, Joko Pangon lalu mendirikan candi untuk mengenang gurunya. Hutan itu juga dibabatnya untuk menjadi sebuah permukiman.
"Kenapa desa ini dinamakan Gedog, karena di sekitar candi itulah dulu didirikan gedokan atau kandang kuda dan kerbau. Juragannya itu Lurah Bendogerit bernama Swansang. Mbah Joko Pangon itu jadi pangon (perawat kuda dan kerbau)," kata Karyati.
![]() |
Candi Gedog sendiri tercatat ditemukan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda dan ditulis dalam bukunya 'History of Java'.
Benarkah temuan ini adalah struktur Candi Gedog seperti yang ditulis Raffles?
"Bisa jadi begitu. Karena memang dugaan awal saya juga seperti itu. Sayangnya, di buku Raffles itu tidak ada foto candinya. Hanya memang dituliskan candi di Blitar ini cukup megah," kata arkeolog BPK Jatim Wicaksono Adi Nugroho kepada detikJatim saat itu, Kamis (5/9/2019).
Pada 1817, literatur yang tertulis di catatan Sir Thomas Stamford Raffles menyebut struktur Candi Gedog di Kota Blitar, Jawa Timur, ini terdiri atas batu bata.
Raffles menyatakan takjub. Sebagian besar ornamen candi dibuat dari batu. Beberapa sisi candi masih dalam keadaan utuh. Tetapi bagian dasar pintu masuk atau tangga-tangganya telah terpisah. Raffles menyebut struktur candi yang terdiri atas batu bata dikerjakan dengan sangat menakjubkan.
"Di sini juga ditemukan benda-benda kuno. Di antara kota yang telah ditinggalkan itu dengan dinding-dinding dan alas dari batu yang menarik untuk dicatat," tulisnya dalam 'History of Java' (halaman 382).
Menurut Wicaksono, kemungkinan pada 1817 itu Raffles masih melihat bangunan megah ini utuh. Namun, pada 1901, bencana lahar Gunung Kelud meluluhlantakkan Kota Blitar, khususnya Candi Gedog.
"Berdasarkan tutur warga sebagai kearifan lokal, candi ini roboh ke selatan. Nah yang jadi pertanyaan, selatannya itu mana. Tengahnya yang mana. Setelah ekskavasi kalau kita menemukan fondasi, berarti benar apa yang dituturkan masyarakat. Tinggal kita bersama pemerintah membuktikannya. Jadi tidak sekadar katanya, jarene," tandasnya
Saat ini Candi Gedog memang terkubur tanah. Upaya ekskavasi masih terus dilakukan.
(sun/iwd)