Gulai kambing yang tersaji siang itu tampak berbeda rasanya. Tak seperti sajian masakan berbahan daging, lezat, gurih, dan sedap seperti lazimnya.
Gulai kambing yang tersaji terasa lebih asin. Pun terlihat agak jernih. Berbeda dengan tampilan gulai kambing pada umumnya. Kok bisa ?
Rupanya, gulai kambing yang terasa berbeda itu bukan hasil olahan koki atau kaum emak-emak sebagaimana biasanya. Gulai kambing itu ternyata hasil masakan para bapak yang notabene tak pernah ke dapur, apalagi mengolah masakan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hal itu karena proses menguliti, mengiris, memotong-motong, hingga meracik dilakukan oleh lelaki. Sebab, salah satu ritual Nyonteng Kolbuk adalah penanganan daging kambing yang telah disembelih lalu kepalanya dikubur itu pantang dilakukan kaum perempuan.
![]() |
Praktis, kaum emak-emak hari itu hanya menjadi penonton. Ya, para perempuan bak 'ratu sejagat'. Karena yang mengolah dan memasak sajian dilakukan oleh para bapak.
"Ya sekali-kali menjadi ratu, tinggal makan saja. Yang masak bapak-bapak. Toh, hanya setaun sekali," kata seorang warga desa, Marni, sembari terbahak, Kamis (24/8/2023).
Marni mengaku saat tradisi Nyonteng Kolbuk ia hanya mengasuh anaknya yang sedang bermain-main di sekitaran sumber dekat mata air, sembari menunggu masakan yang diolah kaum lelaki.
Tradisi Nyonteng Kolbuk dilakukan setiap tahun oleh warga desa/kecamatan Sumberwringin, Bondowoso. Ritual yang dilakukan setiap bulan Muharam itu bertujuan menyelamati sumber air desa.
Ritual meruwat sumber air yang dikenal dengan nama Nyonteng Kolbuk ini melalui tahapan panjang. Biasanya memakan waktu selama seharian penuh.
Dimulai dengan menyembelih kambing. Setelah dilakukan pembacaan doa, kepala kambing itu lantas dipendam atau dikuburkan di sekitaran sumber utama mata air tersebut.
Tahap berikutnya menguliti hingga memotong daging kambing menjadi bagian kecil-kecil. Potongan daging kambing tersebut lantas diolah sedemikian rupa menjadi gulai. Sebagian dijadikan sate.
Semua proses mengolah dan memasak daging kambing menjadi bagian dari ritual Nyonteng Kolbuk, yakni pantang dilakukan kaum perempuan, seperti lazimnya untuk masak-memasak.
Konon jika dalam ritual itu dilanggar, misalnya kaum emak-emak ikut mengolah atau memasak, maka ritual itu dapat dikatakan gagal dan tak diterima. Dampaknya, pasti terjadi hal-hal yang tak diinginkan. Entah sumber airnya jadi kecil, atau hal lain yang bakal terjadi di desa.
"Mengolah dan memasak daging itu dilakukan ditempat itu juga, dekat sumber mata air tersebut," kata salah seorang tokoh warga, Kurniawan.
Ia memang mengaku tidak tau persis makna kenapa yang mengolah harus lelaki dan tak boleh perempuan. Sebab, tradisi itu sudah berlangsung sejak turun temurun.
"Karena dipercaya, jika itu dilanggar akan berdampak. Misalnya sumber air menjadi makin kecil, maupun hal-hal tak diinginkan lainnya. Wallahua'alam," ujar Kurniawan.
Setelah semua masakan matang, barulah kaum emak dan lainnya boleh bergabung. Setelah didoakan yang dipimpin tokoh agama setempat, masakan daging kambing tersebut dimakan beramai-ramai semua warga desa di tempat itu pula.
Biasanya warga membawa tikar dari rumah masing-masing untuk alas duduk untuk makan-makan. Karena makan daging kambing hasil olahan yang jadi bagian ritual itu dipercaya sebagai barokah.
Apakah ritual selesai? Tidak. Karena ritual Rokat Nyonteng Kolbuk dilanjutkan dengan menampilkan kesenian tradisional warga desa, yakni Tabbhuen. Pun beberapa kesenian tradisional warga setempat.
Tabbhuen merupakan kesenian berisi kidung yang diisi kerawitan. Semuanya berbahasa Madura. Ditembangkan oleh satu atau beberapa sinden perempuan yang juga warga desa.
Sekadar diketahui, sumber mata air desa Sumberwringin memiliki debit tinggi. Kendati musim kemarau, debitnya tetap besar. Sumber mata air ini mengcover puluhan desa di 3 kecamatan. Yakni Sumberwringin, Sukosari, dan Tapen
(sun/iwd)