Komunitas Roodebrug Soerabaia dan Surabaya Juang kembali menggelar aksi teatrikal rekonstruksi sejarah kemerdekaan RI. Kali ini, mereka melakukan di depan gedung Wismilak yang tengah bersengketa.
Pendiri Roodebrug Soerabaia Ady Setyawan mengatakan peperangan Surabaya kala itu adalah yang terbesar pada masanya. Sebab, rakyat, Polisi, dan TKR bersatu padu melawan tentara Inggris dan Jepang.
"Bagaimanapun, perang Surabaya adalah perang kemerdekaan pertama yang paling besar skalanya. Sebab, 100 ribu masyarakat Indonesia melawan 30 ribu tentara Inggris dengan 3 matra sekaligus (darat, laut, dan udara), sebelum agresi (1947)," kata Ady saat dikonfirmasi detikJatim, Senin (21/8/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Mereka lakukan face to face, yang jadi tulang punggung adalah polisi," imbuh dia.
Ady menyebut organisasi yang paling diakui kala itu adalah kepolisian. Sebab, mereka telah terlatih, dilengkapi persenjataan, hingga terstruktur secara apik.
"Dari Inggris, polisi diakui punya struktur organisasi yang matang dan persenjataan yang lengkap. Meski, agresi masih terus berlangsung," ujarnya.
![]() |
Ketika disinggung peran serta organisasi keamanan lainnya, Ady memastikan berbeda halnya dengan Polri. Seperti TNI, menurutnya sempat berganti nama beberapa kali.
"Kalau ngomongin TKR, TRI, dan TNI, mereka kan reorganisasi perbaikan sampai 1949. Tapi, kalau polisi sejak awal sudah terbentuk," tuturnya.
Ady menegaskan masyarakat bisa meneladani tentang keberanian untuk mengambil sikap dari personel polisi kala itu. Sebab, berani mempertaruhkan nyawa demi bisa mengibarkan merah putih.
Ia menyebut aksi penurunan bendera Jepang sendiri pertama kali diinisiasi agen polisi Nainggolan. Hal itu dilakukan sebelum diketahui oleh M.Jasin. Aksi penurunan bendera Jepang atau Himomaru tersebut membutuhkan nyali yang besar mengingat kekejaman Jepang.
"Bayangkan, Jepang saat itu sangat berkuasa. Mengambil sikap untuk menurunkan bendera Jepang itu pertaruhan, karena Jepang tidak segan-segan untuk mengeksekusi di jalan," tuturnya.
"Jadi, ketika mengambil langkah untuk mengibarkan bendera merah putih, butuh nyali yang luar biasa, itu setelah proklamasi ya," imbuhnya.
Alhasil, hal tersebut menjadi salah satu pemicu menjadi Flaggen Actie (aksi pengibaran bendera massal). Sehingga, terjadi pengibaran bendera merah putih serentak di Surabaya. Tidak hanya bendera, sapi dan kambing juga sampai di cat merah putih saat itu.
Menurut Ady, kabar dan berita kemerdekaan saat itu tak serta merta menggunakan bahasa Indonesia. Namun para pejuang dahulu menyamarkan dengan menggunakan bahasa daerah seperti Madura dan Jawa. Ini untuk menghindari sensor dari Pemerintah Pendudukan Jepang yang masih mencengkeram kala itu.
"Untuk menghindari sensor Jepang, jadi menggunakan bahasa Madura, Jawa, dan lain sebagainya. Itu sesaat setelah proklamasi, meski masyarakat tidak melakukan apa-apa karena saat itu kan mempertanyakan berita itu real atau tidak, sebab saat itu berita kan simpang siur dan berbeda dengan sekarang yang mudah diakses. Setelah dipastikan benar, disiarkan lewat koran harian sore pakai bahasa Madura dan radio dengan bahasa Jawa," jelasnya.
(abq/iwd)