Bu Dar Mortir, Pionir Dapur Umum yang Rela Jual Harta demi Makanan Pejuang

Bu Dar Mortir, Pionir Dapur Umum yang Rela Jual Harta demi Makanan Pejuang

Praditya Fauzi Rahman - detikJatim
Jumat, 11 Nov 2022 17:53 WIB
Bu Dar Mortir pejuang pendiri dapur umum selama Pertempuran 10 November
Bu Dar Mortir pejuang pendiri dapur umum selama Pertempuran 10 November. (Foto: Istimewa/Roodebrug Soerabaia)
Surabaya -

Di balik sengitnya perlawanan arek-arek Suroboyo pada pertempuran 10 November 1945, ada peran besar seorang perempuan. Ia adalah Dariyah Soerodikoesoemo alias Bu Dar Mortir.

Pemerhati sejarah dari Begandring Soerabaia, Achmad Zaki Yamani menjelaskan, Bu Dar adalah pionir pendiri dapur umum. Berkat jasanya, para pejuang dan warga tetap bisa makan selama perang.

"Beliau yang punya inisiatif untuk membuat dapur umum. Orang perang kan, butuh makan. Dulu ada istilah 'logistik tidak akan memenangkan perang. Tapi tanpa logistik perang tidak akan dimenangkan'," terang Zaki kepada detikJatim, Jumat (11/11/2022).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Zaki menjelaskan, Bu Dar terlibat dalam gerakan mundur pada 1945. Yakni mundurnya para pejuang dari Surabaya ke Jombang. Saat itu Bu Dar mendatangi sebuah toko, lalu melepas kalung dan gelang emas miliknya.

Tak tanggung-tanggung, emas seberat 100 gram itu ia tukarkan dengan bahan-bahan makanan. Bahan makanan itulah yang kemudian dia olah menjadi asupan bagi para pejuang dan warga.

ADVERTISEMENT

"Pada saat pertempuran 10 November, orang kan butuh makan, jadi harus diperhatikan logistiknya. Sehingga, Bu Dar mortir bersama para ibu secara berkelompok berinisiatif memberi makan. Bagaimana caranya agar para pejuang ini tetap makan," ujarnya.

Peran Bu Dar selama perang berkecamuk makin besar. Terlebih saat Surabaya jatuh ke tangan Inggris. Bu Dar diminta mengurusi dapur umum pertahanan COPP VI di bawah pimpinan Letkol Latif Hadiningrat.

Bu Dar sering masuk kota yang sudah dikuasai musuh. Di sana ia mempersiapkan beragam kebutuhan logistik TNI, salah satunya dengan opsi menjadi pedagang.

"Dapur umum itu tidak pernah berhenti selama 24 jam, di buku Tentara Pelajar, orang-orang ini malah tidak doyan makan. Begitu selesai perang perut lapar lalu datang ke dapur umum, sisa-sisa nasi agak basi dimakan juga. Itulah yang terjadi," katanya.

Kerap melempar susur kepada mereka yang tak cekatan. Baca di halaman selanjutnya.

Saking banyaknya dapur umum, Zaki mengaku tak mengetahui detail jumlahnya. Begitu juga SDM yang mengikuti pergerakan Bu Dar di setiap dapur umum.

"Setidaknya ada 50 titik lebih yang dikoordinir Bu Dar di Surabaya Raya. Dia adalah 'combat cook' atau dapur umum pusat selama perang yang tidak kenal jam. Dia yang memperhatikan dan merawat pejuang. SDM-nya ada ratusan sampai ribuan orang," kata Zaki.

Ada satu hal yang unik dari Bu Dar. Perempuan itu tak pernah lepas dari susur alias tembakau yang dikulum dengan mulutnya setiap kali sedang beraktivitas.

Selama mengawasi jalannya proses penyediaan makanan di dapur umum, tidak jarang Bu Dar melemparkan susur yang telah dia kulum kepada anak buahnya yang dianggap tidak cekatan.

"Kalau ada yang lelet, disawat (dilempar) Bu Dar pakai susurnya, biar kinerjanya cepat dan maksimal," kata Zaki.

Tak hanya mengomando produksi makanan, Bu Dar juga mengawasi dengan ketat distribusi nasi bungkus itu. Dia tidak ingin para pejuang menerima dan mengonsumsi makanan itu dalam keadaan basi.

Bahkan, bukan hanya di dapur, rupanya Bu Dar juga menyiapkan dan mengorganisasi pos-pos palang merah. Khususnya untuk merawat para pejuang yang terluka akibat pertempuran.

Halaman 2 dari 2
(dpe/dte)


Hide Ads