Urban Legend

Kiai Moenasir Sakti, Bisa Menghilang Saat Perang Gerilya Lawan Belanda

Enggran Eko Budianto - detikJatim
Kamis, 03 Nov 2022 17:39 WIB
Batalyon (Danyon) Condromowo/Foto: Enggran Eko Budianto/detikJatim
Mojokerto -

Kiai Muhammad Moenasir Ali merupakan Komandan Batalyon Condromowo yang dikenal ahli perang gerilya. Ulama kelahiran Mojokerto 2 Maret 1919 itu juga mempunyai kesaktian, bisa tak terlihat oleh musuh. Ternyata, nama batalyon yang ia pimpin berkorelasi dengan kesaktiannya tersebut.

Keponakan Kiai Moenasir, Muhammad Habibullah mengatakan, mendiang pamannya itu mempunyai beberapa kesaktian. Salah satunya ilmu Condromowo.

Kesaktian itu diperoleh Moenasir ketika menimba ilmu di Ponpes Darussalam Watucongol, Muntilan, Magelang, yang kala itu diasuh Mbah Kiai Dalhar Nahrawi.

Seperti diketahui, Kiai Moenasir 'nyantri' di beberapa pesantren setelah lulus sekolah dasar milik pemerintah kolonial Belanda, Hollandsch Inlandsche School (HIS) tahun 1933. Mulai dari Ponpes Al Islah di Trowulan, Mojokerto, Ponpes Tebuireng di Desa Cukir, Diwek, Jombang, Ponpes Kasingan, Rembang, Jateng, Ponpes Jemsaren, Solo, sampai di Ponpes Darussalam Watucongol.

"Namanya ilmu Condromowo. Makanya ketika beliau dipercaya menjadi komandan batalyon, batalyonnya diberi nama Condomowo. Condro artinya mata, mowo artinya bara api. Ilmunya terkenal dapat menghilang, tidak terlihat oleh musuh," kata Habibullah saat berbincang dengan detikJatim di rumahnya, Jalan Raya Desa Pekukuhan, Mojosari, Mojokerto, Kamis (3/11/2022).

Kesaktian Kiai Moenasir dimanfaatkan untuk berperang melawan tentara Belanda yang kala itu ingin kembali menguasai Indonesia.

Semasa hidupnya, Moenasir pernah bercerita kepada Habibullah tentang ilmu Condromowo. Ketika itu, ulama kelahiran Desa Modopuro, Kecamatan Mojosari ini memimpin Batalyon Moenasir untuk perang gerilya.

Pada suatu malam, Kiai Moenasir dan pasukannya turun dari Pacet untuk menyerang tentara kolonial Belanda yang bermarkas di utara Alun-alun Kota Mojokerto. Sebab, ia menerima informasi penjagaan pasukan penjajah sedang renggang.

Saat sampai di Jembatan Brangkal yang sekarang menjadi jalan nasional Surabaya-Madiun, Moenasir dan pasukannya berpapasan dengan patroli tentara Belanda bersenjata lengkap dan panser.

"Karena mendadak, beliau tidak bisa lari, kalau lari akan terlihat oleh musuh. Beliau menyuruh anak buahnya pegangan berantai ke pundaknya. Saat Belanda lewat, beliau dan pasukannya tak terlihat. Padahal posisi mereka di atas jembatan," terangnya.



Simak Video "Video: Menonton Teatrikal 'Kereta Api Terakhir Surabaya' di Stasiun Gubeng"

(sun/iwd)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork