Endog-endogan menjadi tradisi turun-menurun di Banyuwangi tiap peringatan Maulid Nabi Muhammad. Tradisi itu ternyata sudah ada sejak awal abad 20.
Hari lahir atau Maulid Nabi Muhammad SAW diperingati tiap tanggal 12 Rabiul Awal atau Sabtu (8/10/2022). Sebagian desa di Banyuwangi masih melaksanakan tradisi Endog-endogan.
Tradisi itu dilakukan dengan menghias telur dengan bunga kertas. Lalu, telur hias itu ditancapkan di pohon pisang yang juga dihias.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kemudian, hiasan itu diarak keliling kampung menggunakan becak dan sebagian diletakkan di masjid. Sembari membaca syair pujian pada Nabi Muhammad yang ada di kitab Al-Barjanzi.
"Tradisi ini merupakan bentuk ekspresi kecintaan masyarakat Banyuwangi kepada Nabi Muhammad. Sebagai ungkapan rasa syukur, kami menyisihkan sebagian rezeki untuk berbagi dengan tetangga meski hanya berupa telur dan nasi," ungkap Bupati Banyuwangi Ipuk Fiestiandani, Sabtu (8/10/2022).
Menurut Ipuk, tradisi itu patut untuk dilestarikan. Karena bukan hanya sebagai ekspresi nilai-nilai religiusi, namun juga memperkuat keeratan sosial dan keguyuban di tengah masyarakat.
"Inilah bentuk nyata dari nilai utama Pancasila tentang gotong royong. Semua masyarakat terlibat dalam menyukseskan kegiatan," terangnya.
Ada sebagian daerah di Banyuwangi yang melakukan kirab endog-endogan. Seperti Dusun Glondong, Desa Watukebo, Kecamatan Blimbingsari, Desa Sraten, Kecamatan Cluring dan di Desa Genteng Wetan, Kecamatan Genteng, dan lain-lain.
Wakil Bupati Banyuwangi Sugirah mengatakan, sebagian desa melakukan tradisi Endog-endogan tersebut tak hanya satu hari saja. Seperti di Kecamatan Blimbingsari.
"Ini dilakukan selama bulan Maulud (Rabiul Awal), bahkan di bulan Bakda Mulud (Rabiul Akhir)," terangnya.
Untuk diketahui, tradisi Endog-endogan telah ada di Banyuwangi sejak paruh pertama abad 20. Hal ini terkonfirmasi dalam Cathetan Raden Sudira yang melakukan riset tentang Banyuwangi pada awal 30-an atas perintah dari peneliti Belanda, Theodoore Pigeaud.
"Dalam manuskrip yang kini tersimpan di Perpustakaan Universitas Indonesia itu, diterangkan tentang makanan yang tersaji pada perayaan Maulid Nabi. Yakni, ancak dan Endog-endogan sebagaimana yang dikenal saat ini," ungkap penulis buku Islam Blambangan, Ayung Notonegoro.
Dalam cerita lisan masyarakat Banyuwangi, tradisi tersebut konon pertama kali dicetuskan oleh KH. Abdullah Faqih dari Cemoro, Songgon.
"Di setiap sisi Endog-Endogan ini ada nilai filosofis yang melambangkan ajaran Islam. Seperti telur yang terdiri dari tiga lapis menunjukkan lapisan spiritual, mulai dari iman, islam (syariat) dan ihsan," paparnya.
(hse/dte)