Pak Sakera Bukan Pahlawan Perang, Tapi Pembela Akidah Islam

Urban Legend

Pak Sakera Bukan Pahlawan Perang, Tapi Pembela Akidah Islam

Muhajir Arifin - detikJatim
Kamis, 22 Sep 2022 16:17 WIB
Masa penjajahan Belanda memunculkan tokoh Sakera di Pasuruan. Namanya melegenda dan dikenang hingga saat ini. Ia dianggap sebagai pahlawan masyakarat setempat.
Makam Pak Sakera/Foto: Muhajir Arifin/detikJatim
Pasuruan -

Pak Sakera dianggap sebagai pahlawan bukan karena terlibat dalam peperangan. Ia membela akidah Islam di zaman penjajahan Belanda.

Kehidupan Sagiman atau Pak Sakera mengalami pasang surut. Masa kecil hingga remaja, ia hidup berkecukupan.

Ia bisa mengenyam pendidikan agama atau nyantri di Batu Ampar, Madura. Di sana juga ia menempa kanuragan. Kondisi berubah saat Sagiman beranjak dewasa.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Perekonomian keluarga menurun sehingga ia harus pulang dari Batu Ampar ke Pasuruan. Ia kemudian bekerja sebagai buruh tebang tebu di Pabrik Gula Kancil Mas Bangil," kata Budayawan Pasuruan, Ki Bagong Sabdo Sinukarta kepada detikJatim, Kamis (22/9/2022).

Dalam kondisi ekonomi yang susah, Sagiman menikahi perempuan bernama Leginten. Dari pernikahan dengan Leginten, Sagiman punya anak laki-laki yang diberi mana Sakera. Karena itu Sagiman dipanggil Pak Sakera.

ADVERTISEMENT

"Alias Pakne Sakera," jelas Bagong.

Saat menjadi buruh tebang tebu itu, kisah heroik Pak Sakera dimulai. Sebuah kisah kepahlawanan yang menjadikan nama Sagiman atau Pak Sakera melegenda hingga saat ini.

"Memang dia bukan pahlawan dalam peperangan, tapi dia membela prinsip akidah Islam," terang Bagong.

Masa penjajahan Belanda memunculkan tokoh Sakera di Pasuruan. Namanya melegenda dan dikenang hingga saat ini. Ia dianggap sebagai pahlawan masyakarat setempat.Makam Pak Sakera di Pasuruan/ Foto: Muhajir Arifin/detikJatim

Bagong yang merupakan Ketua Forum Pamong Kebudayaan (FPK) Jawa Timur mengisahkan, kala itu mandor di Pabrik Gula Kancil Mas melarang para buruh tebang tebu berhenti untuk melaksanakan salat selama bekerja.

Mandor yang merupakan orang pribumi itu tidak memberikan waktu istirahat kepada para buruh untuk menunaikan kewajiban agama. Itu membuat Pak Sakera murka.

Sebagai santri, Pak Sakera tidak terima. Apalagi masyarakat Bangil dan sekitarnya, kala itu dikenal sebagai masyarakat yang religius.

"Akhirnya terjadi perselisihan antara Pak Sakera dan mandor saat itu. Namanya Duriyat. Mandor Duriyat yang orang pribumi itu dibunuh oleh Pak Sakera," terang Bagong.

Bagong menjelaskan, Pak Sakera seharusnya dihukum mati karena membunuh Mandor Duriyat. Namun pihak Belanda khawatir akan ada kemarahan masyarakat jika itu dilakukan.

Pak Sakera malah diangkat menjadi mandor baru menggantikan Duriyat. "Ini sebenarnya cara licik Belanda. Memancing perselisihan antara Sagiman dan tokoh masyarakat waktu itu, terutama orang-orangnya Duriyat," jelas Bagong.

Benar saja, tidak lama setelah Pak Sakera menjadi mandor, banyak yang merasa iri. Sifat dengki paling jelas ditunjukkan Carik (Sekdes) Tampung dan Lurah Rembang.

Mereka adalah orang dekat Duriyat. Keduanya mengarang dan menyebarkan fitnah soal Pak Sakera.

"Carik Tampung dan Lurah Rembang buat fitnah. Lapor ke kepala pabrik gula, namanya Markus War. Bahwa Sagiman korupsi dan macam-macam. Sampai akhirnya Sagiman ditangkap dan dipenjara," terang Bagong.

Pak Sakera yang memiliki kesaktian dan pengaruh bisa saja melawan saat ditangkap. Namun Belanda memilih cara 'damai'.

Menurut Bagong, kepala pabrik gula meyakinkan Pak Sakera, bahwa penangkapannya hanya untuk menyenangkan orang-orangnya Mandor Duriyat, khususnya Carik Tampung dan Lurah Rembang. Agar tidak terjadi kekacauan.

"Sagiman juga dijanjikan, selama dipenjara ia tetap menerima gaji mandor, biaya hidup keluarganya tetap ditanggung. Akhirnya Sagiman mau dipenjara," ungkap Bagong.

Halaman 2 dari 2


Simak Video "Video: Detik-detik Penangkapan Pelaku Penculikan Santri Ponpes Metal Pasuruan "
[Gambas:Video 20detik]
(sun/sun)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads