Indonesia punya banyak pulau dan suku bangsa. Setiap suku memiliki adat istiadat yang masih dipertahankan dan dilestarikan.
Jawa merupakan salah satu suku terbesar di Indonesia, yang memiliki keanekaragaman budaya. Selain adat istiadat, orang Jawa juga kerap menggelar upacara tradisi sebagai wujud dari nilai dan norma yang telah ditetapkan. Salah satu upacara tradisi yang masih dilaksanakan oleh masyarakat Jawa adalah tradisi ruwatan.
Asal-usul Tradisi Ruwatan
Dalam bahasa Jawa, kata ruwat sama dengan kata luwar yang berarti terbebas atau terlepas. Sehingga ruwatan berarti upacara yang diselenggarakan agar seseorang dapat terbebas atau terlepas dari bahaya.
Dalam sebuah penelitian dari jurnal Satwika, tradisi ruwatan berasal dari cerita pewayangan. Terdapat seorang tokoh bernama Batara Guru yang memiliki dua wanita, yakni Pademi dan Selir. Batara Guru dan Pademi punya seorang anak laki-laki bernama Wisnu. Wisnu tumbuh menjadi orang yang berbudi pekerti baik.
Suatu hari, Batara Guru dan Selir sedang bercakap-cakap sembari mengelilingi samudera dengan naik seekor lembu. Hasrat seksual Batara Guru tiba-tiba timbul. Namun, Selir menolak ajakan Batara Guru untuk bersetubuh.
Penolakan itu membuat sperma Batara Guru jatuh ke tengah samudera. Sperma itu kemudian berubah menjelma menjadi raksasa yang dikenal dengan nama Batara Kala.
Batara Kala tumbuh menjadi orang yang jahat. Sifat jahatnya disebabkan oleh hawa nafsu ayahnya yang tidak terkendalikan.
Batara Kala kerap meminta makanan yang berwujud manusia kepada Batara Guru. Batara Guru pun mengizinkan. Dengan syarat, manusia yang dimakan adalah wong sukerta atau orang yang mendapat kesialan.
Oleh sebab itu, seseorang yang dianggap terkena sial akan menjadi mangsa Batara Kala. Masyarakat Jawa percaya jika ancaman Batara Kala tersebut dapat dilepaskan melalui tradisi ruwatan.
Ruwatan juga merupakan sebuah usaha yang bertujuan untuk mendapatkan berkah berupa keselamatan, kesehatan, kedamaian, ketentraman jiwa, kesejahteraan dan kebahagiaan bagi diri sendiri maupun keluarga.
Dalam pewayangan, Batara Kala divisualisasikan sebagai dewa raksasa yang tinggi, besar, dan menakutkan. Kata 'kala' memiliki arti waktu. Itu mengisyaratkan bahwa seseorang yang tidak memanfaatkan waktu sebaik-baiknya akan menjadi orang bodoh yang dikuasai oleh Batara Kala.
Prosesi Tradisi Ruwatan di halaman berikutnya...
Simak Video "Video: Aksi Demo di Polrestabes Surabaya Ricuh, Massa Bentrok dengan Aparat"
(sun/sun)