18 Juni 2014 adalah salah satu momen bersejarah di Surabaya. Sewindu silam adalah detik-detik menegangkan di Jalan Kupang Gunung Timur I Surabaya yang karib dikenal sebagai Gang Dolly. Menegangkan bagi para PSK, muncikari, makelar juga bagi Pemkot Surabaya.
Rentetan aksi unjuk rasa menolak penutupan lokalisasi Dolly yang konon terbesar se-Asia Tenggara telah berlangsung cukup panjang. Deklarasi penutupan lokalisasi itu digelar di Islamic Center.
Salah satu yang turut dalam rentetan demo itu adalah Jarwo Santoso yang kini telah sukses dalam profesi baru sebagai perajin tempe. Februari lalu ketika melelang kaus bersejarah seragam penolakan penutupan Dolly ia kembali mengenang momen itu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Yang paling saya ingat dulu semua warga pakai kaus ini untuk demo tanggal 18 Juni 2014 di Islamic Center saat deklarasi penutupan Dolly dilakukan," katanya.
"Saat deklarasi itu semua jalan dari Putat, Kupang, hingga Banyu Urip diblokade."
Tekad Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini saat itu sudah bulat. Pasukan gabungan polisi, TNI, dan semua personel Pemkot Surabaya telah mendukung penuh rencananya untuk menutup tempat-tempat maksiat di sana.
Lokalisasi terakhir di Surabaya itu telah ditutup. Bangunan wisma yang tersisa di Jalan Kupang Gunung I menjadi saksi bisu yang merekam jejak panjang bisnis lendir di Kota Pahlawan, di sebuah gang yang dikenal dari nama seseorang: Dolly.
Ada beberapa versi cerita yang membuat nama itu melegenda. Menjadi ikon babak kelam sekaligus gemerlapan di kota kedua terbesar di Indonesia. Dolly bahkan disebut mengalahkan Phat Phong di Thailand atau Geylang di Singapura.
Tapi, siapa sebenarnya sosok pemilik nama yang tersohor dan identik dengan prostitusi itu? Ada versi yang menyebut namanya adalah Dolly Van der Mart, perempuan Belanda yang jadi muncikari pada awal periode rumah bordil di Surabaya.
Versi lain menyebutkan, ia adalah seorang laki-laki karena ia kerap dipanggil 'Papi Dolly' oleh orang-orang di sekitarnya. Bahkan karena panggilan itu, ada yang menyebut bahwa Dolly adalah wanita yang menyukai sesama jenis alias lesbian.
Dolly adalah nama panggilannya. Sesuai nama yang tertulis di prasasti makamnya di Sukun, Kota Malang, nama belakangnya adalah Chavid. Sedangkan nama depan dan nama tengahnya disingkat menjadi D. A. Chavid.
Ada beberapa versi yang menyebutkan bahwa dua nama yang disingkat itu adalah Dollyres Advenso atau Advenso Dollyres. Sedangkan versi lainnya yang didapat detikJatim adalah Dolira Advonso. Beragam versi itu muncul seperti juga ejaan Chavid yang kerap dieja Chavit.
Menurut hasil wawancara dengan Dolly Chavid yang dimuat di Majalah Jakarta Jakarta No 270 yang terbit pada 31 Agustus 1991 silam, Dolly adalah perempuan kelahiran Surabaya keturunan Filipina.
Chavid atau Chavit adalah nama ayahnya yang seorang Filipina. Sedangkan ibunya bernama Herliah yang merupakan orang Jawa. Dari pasangan Chavid dan Herliah itulah Dolly lahir sekitar 1929 silam.
Sesuai prasasti di makam Dolly yang ada di Malang, perempuan itu lahir pada 15 September 1929 dan meninggal pada 15 September 1992. Ya, Dolly menghabiskan masa tua hingga akhir hayatnya di Malang.
Dolly memang termasuk yang mengawali bisnis prostitusi di Kupang Gunung pada 1960-an silam. Tapi ia bukan yang pertama di bisnis pelacuran. Ia banyak belajar dari seorang muncikari tersohor bernama Tante Beng di Kembang Kuning.
"Sekitar delapan tahun ia menjadi anak kesayangan Tante Beng. Pada masa-masa itu ia mulai mengumpulkan aset. Pelajaran ngegermo, menurut Dolly juga ia dapatkan dari sang mucikari," sebut reportase di Majalah Jakarta-Jakarta.
Pada sekitaran tahun 1969 Dolly memulai bisnisnya sendiri setelah pindah ke kawasan Kupang Gunung. Ia bangun sebuah rumah di bekas lahan kuburan china dan mulai menjalankan bisnis rumah bordil.
Tadinya ia hanya punya satu wisma. Tapi seiring perkembangan, bisnis wisma miliknya berjumlah empat: Istana Remaja, Mamamia, Nirmala, kemudian Wisma Tentrem.
Tapi siapa yang menyangka, ia sebenarnya tak ingin namanya abadi di sana. Dalam wawancara dengan Majalah Jakarta Jakarta ia justru memprotes, kenapa namanya yang dipopulerkan menjadi nama gang sekaligus kompleks prostitusi itu?
"Ya, memang aku yang pertama kali membuka di sana. Tapi waktu mbangun aku bukan germo. Tak bangun lalu tak sewakan. Jadi aku bukan germo. Dan aku heran di Gang Dolly itu yang kaya malah jadi kaya dan enak-enak. Tapi yang jadi sasaran kok aku? Kok namanya jadi Gang Dolly?"
(dpe/dte)