Pascakemerdekaan Republik Indonesia (RI), sejumlah gedung bioskop mengalami masa keemasannya. Hal ini juga terjadi di Kota Surabaya.
Kala itu, menonton film di bioskop seolah menjadi kewajiban bagi pecinta sineas. Para pemuda di masanya, kerap menonton film lokal, Asia, Hollywood hingga Box Office.
Hal ini juga diungkapkan Sekretaris Dewan Pakar PWI Jatim, H.M Yousri Nur Raja Agam. Ia menyebut, jumlah bioskop di Surabaya pernah lebih dari 50.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, karena luas gedung dan fasilitas bioskop tidak sama, maka Pemkot Surabaya kala itu membagi gedung bioskop menjadi 5 golongan, diantaranya AA, A, B, C dan D.
Misalnya saja, untuk golongan AA, ada 16 bioskop, yaitu Mitra, President, International, Surabaya, Star, Wijaya, King, Indra, Ria, Intan, Ultra, Aurora, Arjuna, Gita, Jaya dan Drive In. Sementara golongan A, ada 6 bioskop, yakni Queen, Bima, Irama, Garuda, Istana dan Nusantara,
Lalu, golongan B ada 8 bioskop, yaitu Kusuma, Purnama, Dana, Bayu, Gedung Utama, Satriya, Chandra dan Surya Baru. Sedangkan golongan C ada 6 bioskop yakni Darmo, Suzanna, Bahari Jaya, Kalisosok, Seno dan Megah Ria.
Untuk golongan D ada 15 bioskop, yaitu Cantik, Moelyo, Andhika, Stadion Gelora, Kantin KKO, Rejo Slamet, Putra, Juwita, Sari Mulyo, Paulus, Baruna, Srikandi, Taman Remaja, Tandes dan Widodo.
"Sekarang, bioskop-bioskop itu banyak yang hanya tinggal kenangan. Banyak muda-mudi zaman itu yang kini sudah beranak-cucu punya kesan indah di bioskop itu," kata Yousri kepada detikJatim, Minggu (10/6/2022).
Yousri menjelaskan, FFI di Surabaya Tahun 1970 sampai menjelang 1990, menjadi penanda bangkitnya dunia film di Indonesia. Baik untuk mengimpor, hingga memproduksi film nasional.
Di era tersebut pula, aktor dan aktris film benar-benar disanjung, dipuja dan dimanjakan. Puncaknya, FFI di Bioskop Mitra yang menjadi tuan rumah pada tahun 1981.
Pewarta senior di Surabaya itu menyatakan, berdasarkan catatannya, ada 54 bioskop di kota pahlawan. Yakni bioskop kelas AA mencapai 20 buah dengan 15.353 tempat duduk, bioskop kelas A ada 5 gedung dengan 4.011 tempat duduk, bioskop kelas B 18 gedung dengan 7.802 tempat duduk, bioskop kelas C dengan 9.084 tempat duduk, dan bioskop kelas D 1.120 tempat duduk.
"Di tahun 1993, jumlah bioskop bertambah 20. Sehingga, jumlah bioskop di Surabaya waktu itu menjadi 74 buah," ujarnya.
Dominasi penonton film kala itu, simak di slide berikutnya!
Sementara itu, berdasarkan hasil rekapitulasi catatan dan kesaksiannya, jumlah penonton tahun 1987, didominasi penonton film Amerika. Tahun itu pula, penonton bioskop yang membeli karcis untuk menyaksikan film Amerika mencapai 2,36 juta orang.
Sedangkan penonton film nasional 1,94 juta orang lebih, lalu diikuti film mandarin 1,08 juta orang, lalu India 198.000 orang, dan Eropa sekitar 30.000 orang. Selanjutnya, di tahun 1993, jumlah penonton film Amerika bertambah menjadi 2,57 juta.
"Sekedar mengingatkan dan bernostalgia bagi yang tua-tua dan sebagai informasi bagi yang muda, saya sudah pernah coba menelusuri buku-buku lama tentang nama dan alamat bioskop di Surabaya. Ternyata, Ada 61 bioskop, tapi ada yang tempatnya sama dan namanya berubah," tuturnya.
Lambat laun, keberadaan bioskop terdesak dengan film rekaman video. Alhasil, gedung bioskop mulai sepi penonton. Bahkan, bioskop saat ini tidak lagi menjadi primadona. Untuk keadaan, bentuk, dan suasananya pun sudah berubah. Kendati, bioskop yang memutar film nasional dan impor, tetap saja tak seramai dulu.
"Memang, masih ada bioskop di Surabaya yang bertahan. Justru di pusat perbelanjaan, plaza dan mal, bioskop masih digemari pencandu film layar lebar. Kalau dulu, bioskop favorit terpisah dari pusat perbelanjaan, sekarang bioskop ada yang di dalam mal atau plaza," katanya.
Terpisah, pengamat sejarah bioskop di Surabaya, Dhahana Adi Pungkas menyatakan hal senada. Menurutnya, meski kian surut, namun keberadaan bioskop sempat terdongkrak kembali ketika 21 hadir.
Bahkan, pengemasan lokasi, suasana, dan bentuk bioskop seolah dibuat menyesuaikan selera penonton. Salah satunya adalah konsep sineplek dan teater kala itu.
"Kalau sineplek, konsepnya ya different from beyond, only 1 cinema dan dipergunakan juga untuk kesenian. Kalau theater, ya hanya gedung bioskop nyel (saja) atau berdiri sendiri, seperti di mal itu, itu penyebutan sejak jaman kolonial," kata pria yang akrab disapa Ipung itu.
Ipung menjelaskan, bioskop dan filmnya pada zaman dulu, hanya sekedar tontonan. Namun, sekarang bioskop dijadikan sarana untuk memperoleh pengakuan.
"Istilahnya, 'butuh' pengakuan sebagai arek gaul. Jadi, sudah menjadi gaya hidup juga ya," ujar dia.
Ipung lantas menceritakan pengalamannya menonton bioskop ketika masih mengenakan seragam putih abu-abu kala itu. Ia mengaku, kerap tak langsung pulang bahkan rela bolos sekolah hanya demi menonton bioskop.
"Dulu, saya pernah bolos dan bawa baju ganti, meski ada beberapa sekolah yang membolehkan, tapi memang tidak ada aturan kalau anak sekolah tidak boleh menonton. Dulu, di zamanku adanya pahe (paket hemat) sampai 50% untuk semua kalangan, dulu hanya Rp 2.000, kalau di tahun 80-an ada jam khusus pelajar, itu untuk semua jenis film," tutupnya.