Pada masanya, gedung bioskop pernah menjamur di Surabaya. Tempat menonton film itu ada di hampir setiap kecamatan.
"Bisa dibayangkan untuk setiap area selalu ada beberapa gedung bioskop. Di Jalan Kusuma Bangsa misalnya, dekat SMA Kompleks, di THR ada gedung bioskop. Begitu juga di sekitarnya," kata pengamat sejarah di Surabaya, Dhahana Adi Pungkas kepada detikJatim, Rabu (8/6/2022).
Ia yang akrab disapa Mas Ipung menyebut, jumlah gedung bioskop di Surabaya hampir ratusan sebelum era 80-an. Bioskop-bioskop tersebut memiliki tipe, karakter dan pemasaran yang berbeda.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sehingga, tiket dicetak sesuai kategori atau kelas masing-masing bioskop. Begitu juga dengan kursi, tampilan, dan sejumlah fasilitas lainnya.
"Dulu, tiketnya dicetak bagus, kursinya bermacam-macam. Ada yang dari plastik, besi, dan lain sebagainya. Sebelum kehadiran bioskop 21, bioskop cuma satu layar besar untuk bergantian, kalau 21 sudah tidak (menggunakan itu)," papar Mas Ipung.
Alumnus Sosiologi FISIP Unair itu mengatakan, ada 5 kategori gedung bioskop waktu itu. Setiap kategori memiliki ciri, karakter dan fasilitas yang berbeda-beda.
"Ada 5, kategori AA paling tinggi atau VVIP. Lalu kategori A, kemudian B, C dan D. Di zaman saya 1980 sampai 1990 itu era 21 (Twenty One)," tuturnya.
"Kalau kategori D ya yang paling rendah. Kalau hujan ya bocor. Misalnya bioskop Rukun di Simo, ada juga di belakang Terminal Bratang sisi belakang. Itu ada untuk masyarakat menengah ke bawah banget, itu kelas D. Harganya pada era itu sekitar Rp 250, untuk yang kelas A sekitar Rp 2.000, untuk B dan C sekitar Rp 500 sampai Rp 750," tambahnya.
Meski begitu, ia menegaskan, bioskop di Surabaya cenderung lebih maju dibanding di kota besar lainnya. Termasuk dengan Jakarta, meski dianggap sebagai pionir bioskop nusantara.
Menurut Ipung, film-film barat yang akan diputar di Indonesia terlebih dulu mendarat di Surabaya. Sebab, Surabaya lebih dekat dibanding Jakarta.
"Meski ada pesawat. Bahkan dulu gedung-gedung bioskop ada yang kecil-kecil juga. Termasuk orang Indonesia Timur ada yang rela nonton ke Surabaya. Walaupun di Malang dan Kediri ada bioskop juga dan vibes-nya berbeda," ujarnya.
Terlebih Surabaya merupakan kota urban atau industri, seperti yang dijelaskan dalam buku City of Work. Buku tersebut menerangkan, Surabaya memiliki setting-an sebagai kota kerja dan pelabuhan. Sehingga sejak zaman dahulu, hiburan menjadi sebuah kebutuhan dan keharusan.
"Dulu ada (bioskop) drive in. Itu yang mendahului Surabaya di tahun 1980-an. Dulu lokasinya di sekitar Hotel Shangrila dan Kenjeran. Ada lagi bioskop yang berada di Kompleks di Grand City. Dulunya kan tempat latihan KKO. Itu yang melahirkan pelawak Tessy dan Tarzan. Nah dulunya tempat penggodokan perwira-perwira namanya Bioskop Amorang, itu tipe B," tuturnya.
Seiring berjalannya waktu, gedung-gedung bioskop di Surabaya perlahan berkurang. Juga tergeser oleh kehadiran 21. Pionir 21 yakni Sudwikatmono, yang kala itu dinilai memiliki andil dan pengaruh besar. Nama 21 sendiri diambil dari nama Sudwikatmono.
"Dwi kan 2, mono kan 1, makannya jaringan bioskopnya 21 dan namanya pakai itu agar tidak bingung. Iku (Sudwikatmono) salah satu kerabat Cendana. Itu sebenarnya holding company, jadi dia adalah bapak gedung bioskop modern Indonesia," tutur dia.
Ipung menyebut Sudwikatmono memonopoli 21 pada sejumlah bioskop di Indonesia. Sebab, Sudwikatmono menawarkan ke bioskop-bioskop yang mau 'kukut' atau bangkrut.
21 sempat menggandeng Sinema Internusa yang merupakan distributor roll film yang berpusat di Surabaya. Dalam kerja sama itu, mereka mengirim, mengkoordinir dan memutar film-film barat yang diimpor khusus menggunakan pesawat atau kapal dari produsen. Wilayahnya mencakup hingga Indonesia Timur. Karena Surabaya dan Jakarta kutub perdagangan.
"Tapi rata-rata yang tidak gabung 21 ajur wes (hancur sudah). Akhire yo turun kasta, akhire muter film esek-esek (porno) untuk menghidupi, dan mereka ada legalitasnya loh. Meski tidak full (porno), intinya yang berbumbu-bumbu hal dewasa lah. Pascakrisis moneter, banyak yang kukut, akhirnya banyak orang yang mikir enakan di mal, bisa sambil belanja," kata Ipung.
Roda terus berputar, kejayaan 21 pun kian terkikis laserdisc seperti vinyl. Yang menurunkan antusiasme masyarakat untuk menonton film bioskop di Indonesia.
"Sampai akhirnya di era 1990-an dikenal dengan film esek-esek atau semi, karena kan filmmaker Indonesia protes terhadap TV swasta serta sinetron dan iklan, tapi karena ada RCTI dan SCTV yang embrionya dari Surabaya, ya gedung bioskop kena imbasnya. Jadi budaya tontonan mulai berkurang," tuturnya.
![]() |
Lambat laun, banyak gedung bioskop di Surabaya yang tak bisa bertahan. Ada yang beralih fungsi, ada pula yang diratakan dengan tanah.
"Ada yang hilang dibongkar juga ada. Yang gak karuan wujud'e yo ada, tapi gak diaktifkan. Kayak bioskop Darmo itu contohe, fasad'e gak onok, saiki dadi pom bensin. Itu terakhir Maret 2021 masih utuh fasad ngarep e, kemudian Mei 2022 sudah jadi pom bensin. Ada juga yang masih ada wujudnya, tapi tidak jadi apa-apa, seperti bioskop Ultra di Urip Sumoharjo," ungkapnya.
Ipung justru menyayangkan gedung Bioskop Mitra di Balai Pemuda. Selain berada di jantung kota dan memiliki ciri khas, perubahan atau pemugaran lokasi tak sesuai rencana pemerintah kala itu.
"Masterplan-nya bioskop tetap ada di bawah dan pertunjukkan di atas, konsepnya seperti di Taman Ismail Marzuki dan Cikini 21. Jadi benar-benar Cineplex banget," tutupnya.