Gemblak tak bisa dilepaskan dari sejarah panjang kesenian Reog Ponorogo. Dari gemblak, muncul jathilan, tarian yang mempertontonkan seorang prajurit menunggangi kuda.
Dihimpun detikJatim dari beberapa refernsi, ada sejumlah versi gemblak yang berkaitan dengan sifat warok. Salah satu yang memunculkan kontroversi adalah gemblak menjadi 'peliharaan' warok.
Gemblak biasanya adalah anak laki-laki tampan yang tinggal dengan warok. Sementara warok sendiri, dikisahkan melakukan 'puasa perempuan' alias tidak berhubungan seksual dengan istrinya demi meningkatkan kekuatannya. Lantaran tak berhubungan badan dengan perempuan, warok kemudian memilih gemblak.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lantas, seperti apa sosok gemblak sebenarnya?
Pegiat seni Ponorogo, Sudirman menjelaskan, gemblak secara tradisi sudah ada turun-menurun di Bumi Reog. Gemblak termasuk kultur budaya nenek moyang zaman dulu.
"Kita mungkin penerusnya, keturunannya mengikuti begitu saja tanpa tahu maknanya. Dulu mbah, bapak, maupun canggah (cicit,red) kita seperti ini. Nah, yang saya ketahui gemblak itu dijadikan penari jathilan (kuda lumping)," tuturnya saat ditemui detikjatim, Rabu (13/4/2022).
Zaman dulu reog milik masyarakat. Semua penarinya terdiri dari orang-orang kuat yang terdiri dari kelompok warok, pembarong, kelonosewandono, hingga bujang ganong. Namun ada satu penari yang justru luwes, diperankan laki-laki muda dan tampan yakni jathilan.
Sudirman melanjutkan, Reog Ponorogo versi Ki Ageng Kutu memunculkan penari jathilan untuk menyindir prajurit Majapahit yang tidak memiliki sifat heroik, sifat prajurit, dan pemberani.
"Tarian jathilan dilakukan oleh laki-laki yang masih muda dan gagah, tapi gerakannya lemah gemulai, cantik. Kok lucu sih pakaiannya laki-laki, tapi gerakannya kayak perempuan. Ini yang dijadikan sindiran untuk para prajurit Majapahit," lanjutnya.
Sudirman mengungkapkan, untuk menjadi gemblak tidak bisa sembarangan. Anak-anak yang dipilih punya kriteria khusus. Mulai dari usia antara 12-17 tahun, tampan, kulitnya bersih, dan berpakaian rapi.
"Mereka harus tampan, karena mereka akan dijadikan penari jathilan. Penari jathilan itu sebagai maskot atau penarik dari reog, ditarikan oleh seorang gemblak. Makanya, gemblak di sini harus tampan," terangnya.
Sebelum memiliki gemblak, seorang warok harus melamar orang tua yang anaknya akan digemblak. Syaratnya mulai dari masa kontrak selama dua tahun hingga dijanjikan diberikan sawah garapan atau satu ekor lembu.
"Jadi kontraknya hanya dua tahun. Setelah itu anaknya dikembalikan ke orang tuanya kembali ke kehidupan sosialnya, seperti sekolah dan menikah," tambahnya.
Sudirman sendiri mengaku pernah menjadi gemblak dari seorang warok. Dia bersyukur pernah menjadi pelaku seni pelestari kesenian reog pada tahun 1970-an lalu.
Saat ia menjadi gemblak, hidupnya bagaikan selebritis. Mulai dari pakaian yang istimewa hinhha harus selalu pakai kaus kaki dan sandal di manapun berada, agar menjaga kebersihan kaki.
"Diajari pula sopan santun, tata krama, dan sebagainya," paparnya.
Ia pun berharap kepada masyarakat luas agar jangan memandang gemblak secara negatif. Terutama soal hubungan homoseksualitas antara gemblak dengan warok.
Sudirman menegaskan, hubungan warok dan gemblak sebatas bapak dan anak angkat.
"Karena biasanya orang tua dari yang jadi gemblak itu kekurangan secara ekonomi. Jadi, anaknya diopeni (dirawat) lebih terhormat," kata Sudirman.
(dte/dte)