Di Balik Eksistensi Singo Mangku Joyo-Paguyuban Reog Ponorogo di Surabaya

Di Balik Eksistensi Singo Mangku Joyo-Paguyuban Reog Ponorogo di Surabaya

Praditya Fauzi Rahman - detikJatim
Sabtu, 09 Apr 2022 21:35 WIB
reog ponorogo
Ilustrasi Reog Ponorogo. (Foto: Charoline Pebrianti)
Surabaya -

Reog Ponorogo merupakan kesenian kebanggan Jawa Timur dan Indonesia. Di beberapa kota, kesenian ini terus dilestarikan turun-temurun.

Salah satu paguyuban Reog Ponorogo yang cukup besar di Surabaya adalah Singo Mangku Joyo. Markasnya ada di Jalan Gubeng Kertajaya Gang V Nomor 8, Kecamatan Gubeng. Ketika mengunjungi tempat itu, detikJatim bertemu dengan Yoyok Setiono, keturunan keempat paguyuban.

Pria kelahiran Surabaya, 21 Oktober 1982 itu mengkisahkan, Singo Mangku Joyo didirikan pertama kali oleh kakak dari almarhum ayahnya, Sugianto, yang notabene keturunan ketiga dari para pendahulunya. Sebelum mengenalkan reog, keluarga Yoyok terlebih dulu bermain Jaranan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pada tahun 1950an, mereka mulai memperdalam seni reog. Kemudian mereka main dari kampung ke kampung di Surabaya.

"Awalnya itu dari mbah, lalu ke kakaknya bapak, lalu ke bapak, sekarang ke kami, yang mulanya berdiri dari kesenian jaranan," jelas Yoyok, Jumat malam (8/4/2022).

ADVERTISEMENT

Yoyok mengaku, dia dan sejumlah anggota keluarga lainnya mulai mengenal, menyukai, hingga melakoni Reog sedari usia balita. Yoyok kecil sering diajak manggung dan berlatih hingga mempelajari aneka jenis tarian secara autodidak.

"Alhamdulillah, kami sekeluarga sejak lahir mendengarkan musik dan mengetahui kesenian Reog, akhirnya ya 90% mencintai reog," lanjutnya.

Memang, mewarisi dan melestarikan budaya serta tradisi tak semudah membangunnya. Yoyok mengaku, butuh konsistensi dan tanggung jawab untuk menjaganya.

"Warisan dari bapak ya hanya ini. Ninggali ndunyo enggak isok tapi ninggali kepinteran ben isok golek pangan (meninggalkan warisan harta tidak bisa tapi mewariskan kepintaran untuk bisa mencari makan)," sambungnya, lalu tertawa.

Seiring berjalannya waktu, satu persatu saudara, rekan, hingga kerabat turut meramaikan. Sampai akhirnya, jumlah anggota paguyuban mencapai puluhan orang hingga saat ini.

"Kurang lebih 60 orang. Itu mulai tarian, yang nabuh, sampai reognya," imbuhnya.

Paguyuban Reog Singo Mangku Joyo SurabayaPaguyuban Reog Singo Mangku Joyo Surabaya. Foto (Praditya Fauzi Rahman) Foto: Praditya Fauzi Rahman

"Yang pertama kali mengenalkan Ganongan Salto di Indonesia ya dari kami, kalau reog-reog lain kan hanya joget dan goyang saja, nah ini yang salto ya saya waktu dulu. Pokoknya atraksi yang kami suguhkan dulu beda dari yang lain," ujarnya.Mulanya, pengenalan reog hanya sesuai ilmu dan teori dasar saja. Tarian dan musik yang disajikan juga masih mendasar. Seiring berjalannya waktu, gerakan saat pementasan kian berkembang. Kreativitas ditingkatkan, lalu menjadi pembeda dari yang lain.

Lambat laun, nama Singo Mangku Joyo kian dikenal. Tak hanya mengamen, mereka juga kerap ditanggap dari satu panggung ke panggung. Mulai dari skala lokal, nasional, hingga mancanegara.

Yoyok mengungkapkan, sejarah ayah dan keluarganya menghidupkan Singo Mangku Joyo tak semudah membalik telapak tangan. Jatuh bangun, resah, emosi, hingga isak tangis pernah dilakoni.

"Benderanya tidak instan dan langsung berdiri. Kalau bilang sejarah ya bisa dibilang ngeri, bisa dibilang seru, tapi kalau sekarang yang pasti ya bangga," tuturnya.

Yoyok lantas mengisahkan saat paguyubannya mengikuti Festival Reog pada 1990an. Menurutnya, saat itu perekonomian dan mental para penari tak sematang sekarang. Bermodal nekat, mereka berangkat ke Ponorogo untuk menang dan mendapat pengakuan.

"Dulu kami mandiri berangkat, ada yang gadaikan celana, TV, dan masih banyak lagi. Biar apa? Biar bisa berangkat bersama dan diakui oleh orang," kenangnya lalu memandangi barongan di belakangnya.

Mereka akhirnya menduduki peringkat pertama pada festival itu. Nama Singo Mangku Joyo makin melambung hingga sering dapat job. Kemudian, kakek dan ayahnya berinisiatif untuk membentuk patung Reog di Gang 5 Kertajaya.

"Kalau ada orang yang bilang Kampung Reog, itu salah besar, yang bener Gang Reog. Karena ancer-ancer (patokan) dan patung reog itu yang bikin mbah saya tahun 90an, Pikirnya mbah dulu, kalau dikasih patung orang- orang akan tahu dan hafal kalau di gang ini ada kesenian reog," ujar Yoyok.

Kini, Yoyok berharap agar pemerintah Indonesia serius memikirkan Reog Ponorogo. Menurutnya, Indonesia lebih punya sejarah panjang ketimbang Malaysia yang saat ini berusaha mengeklaim reog dengan mendaftarkan ke UNESCO.




(dte/dte)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads