Klaim Malaysia atas Reog Ponorogo memantik amarah para seniman di beberapa kota di Jawa Timur. Tak terkecuali paguyuban reog yang ada di Surabaya.
Jumat malam (8/4/2022), detikJatim menemui Yoyok Setiono, penerus keempat Paguyuban Singo Mangku Joyo di kawasan Kertajaya. Emosi Yoyok sempat tersulut ketika mendengar klaim Malaysia yang ingin mendaftarkan kesenian reog ke UNESCO.
Yoyok lantas mempertanyakan mengapa pemerintah tak secepatnya mengumpulkan data dan mendaftarkannya ke UNESCO sedari dulu. Supaya reog bisa diakui dunia, layaknya batik.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kenapa pas dulu pernah diklaim juga kok tidak segera didaftarkan atau bagaimana? Nah ini jadi ramai lagi," kata Yoyok kepada detikJatim, Sabtu (9/4/2022).
Pria berusia 40 tahun tersebut mempertanyakan sejarah reog versi Malaysia. Ia yakin, Malaysia tak dapat membuktikannya lantaran memang bukan berasal dari sana.
"Kalau mereka mengeklaim (Reog Ponorogo), mulai kapan adanya? Sedangkan di Indonesia kan sudah lama, di Ponorogo ada napak tilasnya," ujarnya.
Perasaan yang sama juga disampaikan oleh adiknya, Andik Iswanto. Meski emosi, ia menyebut bahwa klaim Malaysia terkait Reog bisa dipatahkan.
"Saya pribadi sebagai seniman reog ya marah, karena Malaysia kan tidak ikut punya, tapi ikut mengakui kebudayaan kita," katanya.
Andik pun menyayangkan klaim Malaysia yang kembali terulang. Dulu pada 2007 Malaysia juga pernah melakukan langkah serupa. Indonesia pun bereaksi keras. Namun, sampai saat ini tidak ada upaya konkret dari pemerintah pusat untuk mendaftarkan Reog Ponorogo ke UNESCO.
"Dulu kan pernah terjadi pada TKI yang bekerja di sana dan mendirikan seni reog, tidak tahu kenapa kok tiba-tiba diklaim punya Malaysia lagi. Kami tidak tahu pemerintah bagaimana menyikapinya," ujar pria kelahiran Surabaya, 30 Agustus 1987 itu.
(dte/dte)











































