Ini Asal-usul Candi Pari dan Sumur Warisan Majapahit di Sidoarjo

Ini Asal-usul Candi Pari dan Sumur Warisan Majapahit di Sidoarjo

Suparno - detikJatim
Senin, 04 Apr 2022 11:35 WIB
Penampakan Candi Pari di Desa Candi Pari, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo
Penampakan Candi Pari di Desa Candi Pari, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo. (Foto: Suparno/detikJatim)
Sidoarjo -

Kabupaten Sidoarjo ternyata menyimpan warisan sejarah peninggalan Majapahit. Namanya adalah Candi Pari dan Candi Sumur yang terletak di Desa Candi Pari, Kecamatan Porong.

Hingga saat ini beberapa sisa-sisa kejayaan Candi Pari dan Candi Sumur masih bisa dilihat. Kedua candi ini berjarak sekitar 100 meter.

Di atas pintu masuk Candi Pari tertera tulisan 1293 Saka. Pada masa itu merupakan era Kerajaan Majapahit di bawah kepemimpinan Raja Hayam Wuruk.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Semin (65), penjaga Candi menceritakan asal-usul kedua candi ini. Dahulu kala, hidup lah seorang petapa bernama Kiai Gede Penanggulangan. Ia tinggal bersama adiknya, Nyai Ijingan. Kiai Gede kemudian memiliki dua putri yang diberi nama Nyai Lara Walang Sangit dan Nyai Lara Walang Aging. Sedangkan adiknya mempunyai putra bernama Jaka Walang Tinunu.

"Ketika Jaka Walang Tinunu sedang asyik memancing, tiba-tiba muncul ikan Deleg. Tak disangka, ikan Deleg tersebut berubah wujud menjadi seorang pria. Kemudian mereka bersahabat dan diajak pulang ke rumah Jaka Walang Tinunu," cerita Semin saat ditemui detikJatim di lokasi, Senin (28/3/2022).

ADVERTISEMENT

Penampakan Candi Sumur di Desa Candi Pari, Kecamatan Porong, Kabupaten SidoarjoPenampakan Candi Sumur di Desa Candi Pari, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo Foto: Suparno

Oleh Jaka Walang Tinunu, pemuda jelmaan ikan Deleg tersebut diberi nama Jaka Pandelengan. Singkat cerita, keduanya bekerja sama membuka lahan sawah di sekitar pertapaan Kiai Gede Penanggungan.

Mereka bekerja dengan ulet dan tidak mengenal lelah. Kerja keras Jaka Walang Tinunu dan Jaka Pandelangan kemudian mendapat perhatian dari kedua putri Kiai Gede Penanggungan.

"Kedua putri Kiai Gede Penanggungan menaruh hati kepada kedua pemuda itu. Meski tidak direstui oleh Kiai Gede, mereka tetap melangsungkan pernikahan," Semin melanjutkan.

Semin menambahkan, Jaka Walang Tinunu jatuh hati pada Nyi Lara Walang Sangit, sedangkan Jaka Pandeglang mencintai Nyai Lara Walang Angin. Selepas menikah, mereka lebih rajin lagi bekerja di ladang. Hasil panen mereka pun melimpah ruah.

Keberhasilan mereka menggarap lahan lantas terdengar kerajaan. Pada saat itu, Kerajaan Majapahit sedang dilanda paceklik. Raja Hayam Wuruk lalu meminta kepada Jaka Walang Tinunu dan Jaka Pandelengan untuk membagikan hasil panennya kepada rakyat yang membutuhkan.

"Kedua pasang suami istri itu membagikan hasil panen ke rakyat Majapahit yang membutuhkan," kata Semin.

Mendengar berita itu, Raja Hayam Wuruk merasa bangga. Dua pasangan suami istri itu kemudian dipanggil ke kerajaan. Mereka sejatinya hendak diangkat menjadi keluarga kerajaan, namun tawaran itu ditolak.

Ahkirnya, Raja Hayam Wuruk mendatangi langsung tempat tinggal Jaka Pandelengan dan Jaka Walang Tinunu. Alangkah terkejutnya Hayam Wuruk setelah mendapatkan penjelasan dari Kiai Gede Penanggungan bahwa keduanya itu merupakan putra raja sendiri.

Meski berstatus anak raja, namun Jaka Pandelengan dan Jaka Walang Tinunu tidak mau menemui Hayam Wuruk. Mereka memilih bersembunyi, kemudian sang raja memerintahkan pengawalnya untuk mencari mereka.

"Akhirnya, Jaka Pandelengan memilih moksa (menghilang) di lumbung padi. Sementara Nyai Lara Walang Angin moksa di sumur dekat lumbung padi," ucap Semin.

Melihat kenyataan itu, Raja Hayam Wuruk sedih. Dia lantas memerintahkan pengawalnya untuk membuatkan Candi.

"Candi itu diberi nama Pari dan Sumur," terang Semin.




(dte/dte)


Hide Ads