Ini Mengapa Boso Walikan Malang Tetap Eksis dan Makin Populer

Ini Mengapa Boso Walikan Malang Tetap Eksis dan Makin Populer

Muhammad Aminudin - detikJatim
Minggu, 27 Mar 2022 21:51 WIB
Taman Alun-alun Malang
Akun-akaun di Malang/Foto: M Aminudin/detikcom
Malang -

Boso walikan merupakan identitas dan ciri khas masyarakat Malang. Meski demikian bahasa ini mampu berkembang serta tak hanya digunakan di tempat asalnya tapi juga dipakai di luar Malang.

Pemerhati budaya Malang, Agung Buana mengatakan boso walikan ini bisa berkembang di luar Malang karena ada sejumlah faktor. Pertama, karena banyaknya orang Malang yang merantau.

Dari perantauan ini, lanjut Agung, orang-orang Malang ternyata tak meninggalkan ciri khas bahasa asalnya. Tak hanya itu, bahasa yang dibawa juga mampu mengikuti perkembangan zaman.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Bahasa walikan jelas dan identik dengan orang Malang, karena mereka yang menciptakan dan menggunakan bahasa tersebut. Tetapi seiring perkembangan zaman, bahasa walikan mengikuti era pada saat itu," ujar Agung berbincang dengan detikJatim, Minggu (27/3/2022).

Agung menjelaskan di era tahun 1947 sampai dengan tahun 1949 bersama dengan Agresi Militer Belanda, bahasa walikan lahir dan digunakan sebagai alat komunikasi atau bahasa sandi oleh gerilyawan Indonesia. Kemudian sekitar tahun 1950 sampai dengan akhir 1970-an, bahasa walikan justru terkenal di luar Malang.

ADVERTISEMENT

Itu karena, lanjut Agung, orang Malang banyak merantau ke luar kota untuk mengadu nasib atau mencari pekerjaan. Bahasa walikan tetap terbawa dan menjadi alat komunikasi sesama warga Malang di perantauan. Sehingga kemudian, orang luar Malang memahami dan mengerti, bahasa walikan adalah bahasa orang Malang.

"Tepatnya dimana, di Jakarta. Kenapa? karena ternyata banyak orang-orang Malang yang bekerja di Jakarta. Ketika mereka di sana. Mereka sesama orang Malang, tetap menggunakan bahasa walikan sebagai bahasa sehari-hari," jelasnya.

Sedangkan faktor kedua, Agung menyebut mahasiswa dari berbagai daerah di Malang turut mempopulerkan boso walikan. Faktor ini juga yang membuat boso walikan semakin dinamis dengan munculnya kosakata-kosakata baru.

"Misalnya kata yuk, dari kata yuk. Kosakata itu dibalik menjadi kuy. Kuy artinya yuk. Orang Malang yang kelahiran sebelum tahun 1980-an, akan bilang tidak ada bahasa Malang atau walikan kuy itu. Tapi bagi anak sekarang, anak luar kota yang kuliah di Malang, mereka menggunakan bahasa itu, agar seakan bisa berbaur dengan orang Malang," terangnya.

Agung kemudian menyebut sempat ada protes terkait munculnya kosakata baru ini. Namun menurutnya hal itu tidak usah dipertentangkan. Sebab bahasa selalu mengikuti perkembangan zaman yang ada.

"Walaupun dalam tanda petik, penggunaan kata-katanya banyak yang tidak dipahami oleh orang-orang dulu, makanya sampai ada kritikan ke kita saat ini, bahasa walikan kok, sebenarnya itu jangan dipertentangkan, karena itu wujud sebuah perkembangan. Sebuah perkembangan bahasa yang mempunyai dinamika sesuai dengan perkembangan zaman," tutur Agung.

Agung menambahkan, penggunaan kosa kata bahasa walikan oleh anak-anak zaman sekarang memang jelas berbeda dengan awal-awal bahasa itu lahir dan dipergunakan. Namun, anak-anak muda saat ini, menggunakan kosa kata itu sesuai versi mereka yang dipahami oleh komunitasnya.

Sebab menurut Agung, boso walikan ini menjadi populer karena memang tak ada pakem resmi. Sehingga setiap orang bisa membalik kata-kata sesuai keinginan dan pemahaman mereka. Ini kemudian disebut Agung sebagai faktor terakhir boso walikan bisa tetap eksis.

"Artinya bahasa walikan berkembang, karena tidak punya pakem. Bahasa kan memang sebuah produk budaya, tidak boleh statis. Tetapi dalam perkembangannya harus dicatat atau didokumentasikan.

"Waktu itu tahun 2019, Pemkot Malang melalui Dinas Pariwisata dan Kebudayaan menyusun kamus bahasa walikan bersama jurusan Antropologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Brawijaya. Tujuannya untuk apa? mendokumentasikan serta mencatat perkembangan bahasa walikan," tandas Agus.




(abq/sun)


Hide Ads