Awal Mula Boso Walikan Malang untuk Kecoh Belanda

Awal Mula Boso Walikan Malang untuk Kecoh Belanda

Muhammad Aminudin - detikJatim
Minggu, 27 Mar 2022 20:50 WIB
Menengok Monumen TRIP di Malang
Monumen TRIP Malang/Foto: Muhammad Aminudin
Malang -

Boso walikan (bahasa terbalik) telah menjadi identitas dan ciri khas masyarakat Ngalam (Malang). Nah tahukah detikers, munculnya boso walikan ini ternyata tak lepas dari sejarah perjuangan masyarakat setempat melawan Penjajah Belanda.

Pemerhati budaya Malang, Agung Buana mengatakan tak bisa dilepaskan saat Belanda menguasai kembali Indonesia, tak terkecuali di wilayah Malang. Ini terjadi saat Belanda melancarkan agresi militer pada I pada tahun 1947 dan II pada tahun 1948.

Menurut Agung, saat Belanda menguasai daerah Malang, para pejuang benar-benar kerepotan menghadapi Belanda. Ini karena Belanda juga memiliki mata-mata dari masyarakat setempat yang banyak berkhianat dengan memberikan soal informasi para pejuang.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Di masa agresi militer Belanda I dan II, benar-benar masa pelik. Karena kehadiran penjajah waktu itu diikuti dengan orang pribumi yang menjadi mata-mata. Mereka memberikan informasi ke Belanda," ujar Agung berbincang dengan detikJatim, Minggu (27/3/2022).

Menghadapi para informan dari masyarakat ini, kemudian para pejuang merancang tata kata bahasa yang dibalik cara baca atau ucapannya. Dari kreatifitas inilah, kemudian boso walikan atau osob kiwalan lahir dan digunakan hingga hari ini.

ADVERTISEMENT

"Malang ini kreatif dan kemudian menggunakan bahasa walikan, agar tidak bisa dimengerti oleh mereka yang saat itu menjadi mata-mata Belanda. Contoh, 'Wis idrek a?'. Bagi bukan orang Malang, idrek itu apa ?, mereka (mata-mata Belanda) tidak akan mengerti. Hingga kemudian bahasa walikan menjadi alat komunikasi perjuangan," jelasnya.

Agung membeberkan bahasa walikan kala itu banyak digunakan oleh orang Malang di garis demarkasi atau garis batas antara wilayah Indonesia dengan wilayah jajahan Belanda. Contohnya, garis batas itu Kedungkandang, Bululawang, Sumbersari, kemudian Singosari.

Bahasa walikan ini, terang Agung, paling banyak digunakan oleh para pejuang di bawah pimpinan Mayor Hamid Roesdi, pejuang asli Malang yang juga menjadi pemimpin pergerakan melawan penjajah yakni Gerilyawan Rakyat Kota (GRK).

"Yang paling banyak menggunakan bahasa walikan adalah pejuang GRK pimpinan Hamid Roesdi. Mereka menggunakan komunikasi itu, agar tidak mudah disadap oleh spionase Belanda waktu itu," tuturnya.

Penggunaan bahasa walikan ini ternyata sukses memperdaya spionase Belanda saat itu, sehingga agenda perjuangan GRK dalam menumpas penjajah tak pernah bocor ke telinga tentara Belanda. Sehingga kemudian menjadi sebuah dialek dalam bahasa pergaulan orang Malang hingga saat ini.




(abq/sun)


Hide Ads