Kisah lokalisasi Dolly seperti tak ada habisnya. Lokalisasi yang disebut-sebut terbesar se-Asia Tenggara itu sudah ditutup oleh Wali Kota Tri Rismaharini pada Juni 2014.
Nah, tahukah detikers, sejak kapan lokalisasi Dolly berdiri dan siapa pendirinya? Yuk, kita telusuri.
Lokalisasi Dolly tercatat telah berdiri sejak tahun 1969. Lokasinya yakni berada di Jalan Kupang Jaya Timur I, Kelurahan Putat Jaya, Kecamatan Sawahan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di kelurahan Putat Jaya ini mempunyai luas 137 hektare. Di antara sekian Rukun Warga (RW) di dalamnya. 7 RW masuk dalam lokalisasi. Sehingga lokalisasi ini tepat berada di tengah-tengah pemukiman warga.
Tjahyo Purnomo dan Ashadi Siregar dalam bukunya 'Dolly, Membedah Dunia Pelacuran Surabaya, Kasus Kompleks Pelacuran Dolly' mengungkapkan bahwa daerah Putat Jaya pada tahun 1960-an merupakan bong (makam) Cina.
Pada tahun 1966, daerah ini kemudian diserbu dan dihuni oleh para pendatang. Bangunan makam Cina ini kemudian banyak dihancurkan dan dibongkar oleh para pendatang untuk permukiman.
"Makam dibongkar karena telah dinyatakan pemerintah daerah, makam Cina itu tertutup bagi jenazah baru dan kerangka lama harus dipindahkan oleh ahli warisnya," tulis Tjahyo dalam bukunya seperti dikutip detikJatim, Minggu (6/3/2022).
Karena itu, maka orang-orang mulai berdatangan berebut untuk mendapatkan tanah makam. Saat itu, untuk mendapatkan tanah, para pendatang cukup dengan membongkar makam, menggali kerangka yang ada dan sudah menyatakan diri sebagai pemiliknya.
Tak hanya itu, sejumlah pendatang juga bahkan hanya meratakan tanah gundukan tanpa menggali kerangka. Lalu langsung membangun bangunan di atasnya. Kompleks makam Cina ini yang dibongkar ini meliputi daerah Girilaya saat ini hingga batas makam Islam di daerah Putat Jaya.
Menurut Tjahyo, setahun setelah pembongkaran makam besar-besaran ini, atau tepat pada tahun 1967. Muncul lah seorang bernama Dolly Khavit. Orang inilah yang diketahui pertama kali mendirikan rumah bordil. Saat itu, Dolly telah memiliki 4 rumah bordil di Kupang Gunung 1. Tiga wisma ini kemudian ia sewakan kepada orang lain.
"Dolly Khavit, seorang wanita yang konon dulunya juga pelacur yang kemudian menikah dengan seorang pelaut Belanda. Dolly Khavit inilah orang pertama yang mendirikan rumah bordil di Kupang gunung Timur 1," jelas Tjahyo.
Tidak ada yang banyak diketahui mengenai sosok Dolly Khavit. Ia hanya disebutkan sebagai wanita campuran Jawa-Filipina dan bersuami seorang pelaut Belanda. Dari hasil perkawinannya, ia diketahui mempunyai seorang anak lelaki yang kemudian saat dewasa menjadi germo di lokalisasi ini.
Tjahyo menjelaskan, meski seorang wanita, namun ia enggan disebut sebagai tante sebagaimana panggilan untuk germo umumnya. Tapi ia lebih memilih dipanggil sebagai papi.
Sebelum mendirikan lokalisasi di Putat Jaya, Dolly sebenarnya sudah malang melintang di dunia pelacuran di Surabaya, seperti di lokalisasi Kembang Kuning. Ia pindah dari sana karena saat itu adanya relokasi Kembang Kuning.
Usai mendirikan rumah bordil di Kupang Gunung 1, muncullah sejumlah rumah bordil lainnya. Lokalisasi ini kemudian mencapai ketenarannya mulai tahun 1968/1969 dan dikenal sebagai Lokalisasi Dolly.
"Karena Dolly Khavit ini dianggap sebagai cikal bakal kompleks pelacuran di Kupang Gunung Timur 1, namanya kemudian diabadikan untuk kompleks pelacuran itu," ujar Tjahyo.
Pesatnya perkembangan lokalisasi Dolly membuat kebutuhan lahan untuk wisma atau rumah bordil juga semakin meningkat. Tak heran, maka makam-makam Cina yang belum terjamah langsung diratakan untuk segera dibangun bangunan baru atau berdampingan dengan makam Cina.
Dengan kondisi ini, bahkan banyak bangunan yang di bawahnya masih terdapat kerangka yang belum terangkat dan langsung ditumpuk dengan bangunan baru. Ini membuat wisma di Dolly saat itu meski mewah interiornya tapi terkenal angker.
"Menurut para penghuni wisma wisma di kompleks pelacuran itu angker. Sering muncul roh-roh halus di tengah malam buta menggoda para penghuninya karena pelacuran bertetangga dengan roh. Tentunya para roh itu penasaran. Ini dikeluhkan para pelacur dan pelayan wisma karena sering digoda roh-roh gentayangan itu," ujar Tjahyo.
Tjahyo menambahkan pembangunan rumah bordil ini sebenarnya tidak resmi. Karena saat awal pembangunannya bukan diperuntukkan untuk rumah bordil. Saat itu perizinan cukup ke kepolisian dan pemilik rumah bordil hanya berdalih untuk warung kopi yang dilayani perempuan-perempuan.
Meski demikian tak semua bangunan di Kupang Gunung I memang untuk rumah bordil. Sebab ada juga yang digunakan untuk usaha lainnya.
"Tidak semua tanah di sepanjang Jalan Kupang gunung Timur 1 yang menjadi ajang pelacuran dimanfaatkan sebagai wisma. Ada yang dijadikan rumah makan, toko, tempat parkir penjahit service radio serta gudang minuman," tandas Tjahyo.
(abq/sun)