Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) masih menghantui sejumlah sektor industri di Indonesia. Para pekerja disarankan melakukan langkah antisipatif di tengah kondisi ini.
Dilansir dari detikFinance, Kementerian Ketenagakerjaan mencatat PHK telah terjadi di 15 provinsi di Indonesia. Sebanyak 18.160 orang tenaga kerja telah kehilangan pekerjaannya sejak Februari 2025.
Pengamat ekonomi Universitas Airlangga, Gigih Prihantono pun menekankan bahwa langkah antisipatif harus dilakukan agar pekerja tidak hanya terjebak ketidakpastian ekonomi yang terus membayangi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Pertama, berdiri di atas kaki sendiri. Artinya kita harus terus upgrade (meningkatkan) skill dan kompetensi kita," kata Gigih dihubungi detikJatim, Kamis (15/4/2025).
Gigih juga menyoroti pentingnya kemampuan digital yang harus terus diasah para pekerja mengingat saat ini perubahan pasar kerja terjadi di tengah perkembangan teknologi yang semakin cepat. Maka para pekerja harus bisa bersaing.
"Perlu ada juga digital skill transformasi bagi pekerja," katanya.
Dia juga menambahkan bahwa para pekerja bisa mulai memikirkan terkait jaminan sosial dan pengaturan keuangan pribadi di tengah gelombang PHK yang masih terjadi.
"Kita perlu mulai berpikir soal jaminan sosial dan keuangan pribadi, misalnya menyisihkan gaji untuk investasi, tabungan, deposito, emas, dan sebagainya," tambahnya.
Lebih lanjut, dia menjelaskan bahwa gelombang PHK yang masih terjadi di Indonesia saat ini disebabkan oleh masalah yang sangat kompleks. Menurutnya ini juga terkait dengan kondisi perekonomian dunia yang sudah berubah sejak 2020.
"Perekonomian dunia sejak tahun 2020 memang mengalami ketidakseimbangan antara Amerika Serikat dengan China, dan antara Rusia dengan Ukraina, serta Uni Eropa. Sehingga menyebabkan ketidakpastian global meningkat," jelasnya.
Gigih juga menyebutkan bahwa dampak Pandemi COVID-19 yang dirasakan masyarakat Indonesia sejak 2020 lalu juga masih membekas bagi para pelaku usaha.
"Tahun 2020 juga kita terkena Pandemi COVID-19. Jadi, sebenarnya banyak perusahaan masih dalam posisi recovery. Dampak Pandemi ini masih terasa sampai sekarang," terang Gigih.
Lalu terkait masalah struktural, Gigih menambahkan bahwa sektor manufaktur sebagai penyerap tenaga kerja terbesar misalnya justru mengalami penurunan kontribusi terhadap pendapatan nasional sejak 2014.
"Ini menjadi masalah yang sampai sekarang belum ada perbaikan yang berarti. Salah satu buktinya adalah dari kajian paling hangat yaitu bahwa ekspor-impor kita ini merupakan peraturan yang paling susah, peringkat ke-122 (di dunia)," katanya.
Dia juga menyoroti berbagai persoalan lain seperti ormas, perizinan, serta sengketa tanah yang belum terselesaikan juga bisa menjadi penyebab dunia usaha terguncang. Di sisi lain, produktivitas tenaga kerja Indonesia dinilai masih tertinggal dibanding negara tetangga.
"Jika dibandingkan dengan Vietnam yang lagi naik daun atau Thailand, kita masih harus meningkatkan produktivitas kita. Masalah ini juga struktural sejak krisis ekonomi 1998 yang belum terselesaikan," jelasnya.
Dia kemudian memberi penanda khusus pada beberapa hal yang perlu diperhatikan demi mengantisipasi dampak gelombang PHK bagi masyarakat. Pertama bagi pemerintah, menurutnya revitalisasi pendidikan vokasi dan Balai Latihan Kerja (BLK) perlu dipercepat demi menyesuaikan kebutuhan industri.
"Revitalisasi SMK dan pendidikan vokasi sangat penting, agar bisa terhubung dengan dunia industri. Ini bukan hanya soal knowledge atau skill, tapi juga attitude," tutur Gigih.
Selanjutnya sinergi antara perusahaan besar dan sektor ekonomi kecil juga perlu diperkuat. Termasuk dalam program-program yang telah diluncurkan oleh pemerintah.
"Pemerintah harus bisa menghubungkan supply chain antara perusahaan besar dengan misalnya Koperasi Merah Putih, BUMDes, dan Program MBG (Makan Bergizi Gratis). Itu harus dikawal supaya bisa meningkat (dampak positif bagi perekonomian," jelasnya.
Ia juga mengingatkan pentingnya kompetensi SKA yang harus dimiliki setiap tenaga kerja. Yakni skill (kemampuan), knowledge (pengetahuan), dan attitude (sikap) agar bisa semakin bersaing.
Terakhir, Gigih mewanti-wanti masyarakat mengenai salah satu tantangan serius yang harus dihadapi saat ini. Yakni pengaruh konten negatif di media sosial yang bisa merusak motivasi kerja.
"Kita tahu attitude pekerja sekarang ini banyak terpengaruh oleh media sosial. Padahal seharusnya kalau kita kerja keras dan meningkatkan skill maka value kita juga meningkat," katanya.
(dpe/hil)