Cerita Perajin Telur Asin Terakhir yang Masih Bertahan di Wage Sidoarjo

Cerita Perajin Telur Asin Terakhir yang Masih Bertahan di Wage Sidoarjo

Amir Baihaqi - detikJatim
Selasa, 29 Apr 2025 02:00 WIB
Tukini, perajin telur asin di Desa Wage, Kecamatan Taman,Sidoarjo
Tukini, perajin telur asin di Desa Wage, Kecamatan Taman,Sidoarjo yang masih bertahan (Foto: Amir Baihaqi/detikJatim)
Sidoarjo -

Malam sepulang dari pengajian rutinan ibu-ibu, Tukini langsung menuju dapur. Dengan dibantu suaminya Hariono, perempuan 62 tahun itu lalu mengangkat dandang yang penuh berisi telur asin.

Telur-telur asin yang masih panas itu kemudian dikeluarkan dari dandang dengan serbet ke atas wadah telur satu per satu. Telur asin yang telah matang ini baru saja dikukus selama 3,5 jam lebih cepat dari biasanya.

"Normalnya 4 jam sampai 5 jam. Tapi 3,5 jam juga sudah bisa diangkat," ujar Tukini saat ditemui detikJatim di rumahnya
Jalan Sidodadi RT 03 RW 14 Desa Wage, Kecamatan Taman, Sidoarjo.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurut Tukini, proses pembuatan telur asin memang panjang dan butuh ketelatenan. Total proses pembuatannya butuh 12 hari sejak telur mentah hingga matang dan siap dijual.

Tukini, perajin telur asin di Desa Wage, Kecamatan Taman,SidoarjoTukini tengah memindahkan telur asin dari dandang ke wadah setelah dikukus (Foto: Amir Baihaqi/detikJatim)

Awalnya, telur dibersihkan dari kotoran bebek yang masih melekat. Setelah dibersihkan, telur diluluri pasir dari batu bata merah campur garam dan dibungkus plastik satu persatu. Setelahnya telur dibiarkan seperti itu selama 12 hari.

ADVERTISEMENT

"Setelah 12 baru dikukus atau direbus. Kalau saya biasanya saya dikukus," ujar Tukini.

Tukini menuturkan bisa memproduksi telur asin berawal dari ikut pelatihan di Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (PKK) di Desa Wage 2 tahun lalu. Setelah bisa membuat, ia kemudian memutuskan untuk membuka usaha telur asin sebagai usaha sampingan sambil momong cucunya.

"Awal-awal itu modal sampai peralatan itu dipinjami semua Pak Indra, Ketua RW sini. Pelatihan hingga telur juga dari Pak Indra," tutur Tukini.

Sehari-hari Tukini dan suaminya yang pensiunan pabrik baja bisa memproduksi sekitar 100 hingga 200 butir. Telur-telur itu kemudian dijual di depan rumahnya dan dan dititipkan ke warung-warung makan yang ada di sekitar Desa Wage.

Namun itu dulu, untuk sekarang Tukini masih bisa memproduksi saja sudah bersyukur. Sebab stok telur bebek sangat langka dan harganya yang tak menentu.

Tukini, perajin telur asin di Desa Wage, Kecamatan Taman,SidoarjoTukini dan suaminya, Hariono saat menunjukkan telur asin yang rusak yang tak bisa dijual (Foto: Amir Baihaqi/detikJatim)

"Dulu yang suplai itu Pak RW tapi sekarang sudah tidak sekarang saya ambil di agen," tutur perempuan yang sudah punya 3 cucu itu.

Menurut Tukini, berbisnis telur asin sebenarnya sangat menjanjikan, namun perajin harus siap merugi. Terutama saat dapat telur pecah merupakan momok tersendiri.

"Misal kita beli 100 butir telur bebek itu kadang ada pecahnya pas kita cek itu, pecah 10 atau lima. Kita belinya soalnya per butir. Jadi kan rugi," tutur Tukini.

Karena hal ini, Tukini dan suaminya bisa dibilang satu-satunya perajin telur yang masih tersisa. Meski kadang banyak ruginya daripada untungnya, mereka pun tetap menjalaninya dengan senang hati.

"Ya gimana lagi. Kan kasihan kalau ada yang pesan tapi sudah gak ada lagi pembuatnya. Ya itu hitung-hitung usaha nyambi ngemong cucu," ujarnya.

Saat ditanya omzet, Tukini mengaku sedikit. Ia hanya menjelaskan keuntungannya biasanya diambil dari selisih dari pembelian telur per butirnya.

"Saya beli telurnya dari agen itu Rp 2.700. biasanya saya jual 3 butir Rp 10 ribu. kalau beli satuan Rp 3.500. kalau misal sehari jual 50 butir ya itu untung saya," jelas Tukini.

Sedangkan untuk modal, Tukini juga mengaku pernah mengambil KUR BRI. Ia menyebut sempat mengajukan pinjaman Rp 15 juta, dengan masa cicilan 1,5 tahun di Unit BRI Bangah.

"Pernah, buat modal telur asin juga," tutur perempuan asal Malang itu.

Terpisah, Ketua RW 14, Indra membenarkan Tukini dan suaminya, Hariono merupakan salah satu warganya yang difasilitas menjadi perajin telur. Ia juga menyebut mereka kini juga jadi satu-satunya perajin telur asin yang masih bertahan.

Indra menuturkan fasilitas yang diberikan pihaknya merupakan bagian dari program ketahanan pangan dan Usaha mikro, kecil, dan menengah UMKM yang digelar di Desa Wage.

Dari program tersebut, Indra bahkan sempat membentuk sampai 9 kelompok perajin telur asin yang diberi nama River Side (pinggir kali). Namun nyaris seluruhnya tak ada yang bertahan dan hanya tinggal Tukini dan suaminya.

"Kendalanya itu sebenarnya di stok telur bebeknya. Sebenarnya bukan gak ada stok. Dulu saya ambilnya telur bebek dari Blitar, Jabon Sidoarjo, tapi dari peternak sana ternyata naikin harga dan gak mau stok lagi ke sini," jelas Indra.




(abq/iwd)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads