Penjual Kue Keliling Ini Bisa Bangun Rumah-Beli Mobil Setelah di-PHK

Penjual Kue Keliling Ini Bisa Bangun Rumah-Beli Mobil Setelah di-PHK

Amir Baihaqi - detikJatim
Kamis, 24 Apr 2025 14:00 WIB
Penjual kue tradisional keliling di Berbek Sidoarjo
Eko Susanto di samping motor lapak kue tradisional berjualan tiap pagi di Berbek, Sidoarjo (Foto: Amir Baihaqi/detikJatim)
Sidoarjo -

Suara Eko Susanto lirih saat mengenang pertama kali datang ke Kota Surabaya tahun 1998. Di Kota Pahlawan, pria 47 tahun itu awalnya bekerja di proyek bangunan selepas menamatkan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK).

Di Surabaya, sebenarnya Eko bukan tak punya keluarga, sebab bibinya atau adik dari ibunya tinggal di kawasan Pasar Turi yang tak jauh dari tempatnya kerja. Biasanya saat libur, ia mampir ke rumah bibinya itu.

Lantaran kerap ke sana, ia kemudian bertemu dengan adik dari suami bibinya. Saat itu, ia langsung ditawari bekerja di pabrik sendok PT Kyung Dong Indonesia (KDI) yang berada di Surabaya Industrial Estate Rungkut (SIER).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tawaran itu langsung disambut Eko, ia lantas memenuhi persyaratan administrasi dan surat lamaran yang dibutuhkan. Salah satunya, ijazah SMK yang saat itu belum diambil dari sekolahnya.

Ijazahnya kemudian diantarkan orang tuanya dari Mrican, Kediri ke Surabaya. Berbekal itu, ia kemudian masuk dan bekerja di pabrik asal Korea Selatan itu.

ADVERTISEMENT

"Perusahaan itu termasuk bonafit. Kesejahteraan pekerjanya sangat-sangat diperhatikan, bayarannya juga lumayan sekitar Rp 800 ribu per 2 minggu. Cukup besar saat itu," ujar Eko kepada detikJatim.

Namun, di pabrik pembuat sendok stainless steel itu, ia hanya bekerja hingga tahun 2003. Sebab, perusahaannya harus tutup karena marak pencurian sendok yang dilakukan pekerjanya sendiri.

"Sendok stainless steel itu mahal karena bahannya itu, makanya sering dicuri pekerja yang nakal-nakal itu. Ya kita-kita yang gak ikut-ikut nyuri kena PHK," tutur bapak dua anak itu.

"Waktu itu dapat pesangon Rp 6 juta. Padahal seharusnya Rp 12 juta. Ya itu karena jelang pabrik tutup pencurian semakin marak. Pihak pabrik berdalih kalau mau pesangon utuh kembalikan dulu itu barang-barang yang dicuri," sambungnya.

Penjual kue tradisional keliling di Berbek SidoarjoAnek jajanan kue tradisional yang dijual Eko Susanto di Berbek Sidoarjo (Foto: Amir Baihaqi/detikJatim)

Tak ingin jadi pengangguran setelah di-PHK, Eko lalu bekerja di sebuah toko besi yang masih di Kota Surabaya. Eko bekerja hanya sebulan, karena ia melihat peluang bisnis bagus yakni jualan kue keliling setelah melihat adanya kampung kue di Berbek, Waru, Sidoarjo.

"Waktu itu paman yang ajak kerja di toko besi Bratang bayarannya Rp 15 ribu kerja dari pagi sampai sore," tukas Eko.

"Lalu saya lihat peluang ada kampung kue, kenapa saya gak coba ambil lalu jual keliling, pulang siang hasilnya juga hampir sama dengan kerja di toko yang pulang sore," imbuhnya.

Sejak saat itu, dengan motornya yang telah dimodifikasi dengan lapak, Eko berjualan kue keliling. Namun begitu, berjualan kue tak segampang yang dibayangkan. Salah satunya harus punya mental tahan banting.

"Ya kena mental, dari pekerja pabrik perusahaan terkenal, tiba-tiba jualan kue keliling. Terutama istri saya itu yang kena mental. Tapi, namanya dapur harus mengepul dan halal, kenapa harus malu," ujar Eko.

Benar saja, perlahan dari berjualan kue keliling, Eko bisa meraup untung ratusan ribu per hari. Semuanya dilakukan nyaris tanpa modal. Sebab, ia hanya menjajakan kue dari pembuatnya.

Mulai subuh, Eko sudah mengambil kue di kampung kue Berbek. Ia lalu keliling menjualnya hingga pukul 10.00 WIB. Sepulangnya, ia biasanya kembali ke kampung kue untuk melakukan setoran hasil jualan dan kue yang tak laku ke pembuatnya.

"Saya biasanya ambil itu kue dari pembuat kue Rp 1.600 lalu saya jual Rp 2 ribu. Jadi saya kan ambil untung Rp 400 perak per kue. Nah, kalau Rp 400 itu dikalikan misal saya ambil 1.000 kue, kan saya sudah untung Rp 400 ribu setiap harinya," jelas Eko.

Jiwa bisnis Eko rupanya muncul lagi, uang hasil berjualan kue ia juga rupakan ke aset yang harganya sewaktu-waktu semakin naik. Salah satunya dengan membelikan sapi di kampung halamannya di Mrican, Kediri.

Dari asetnya itu, ia lantas membelikan sebidang tanah yang masih di kawasan Berbek pada tahun 2009. Tanah itu rencananya akan dibangun rumah karena selama ini, ia dan keluarganya tinggal di rumah kos di sekitar kampung kue.

"Saya beli tanah 2009. Bikin rumah tahun 2010. Tanah itu harganya 42 juta per meternya Rp 700 ribu. Ini 5 x 12 dari hasil jual kue dan jual aset seperti sapi dan tabungan," ujarnya.

"Bangun 2010, itu dari uang pinjam-pinjam dari pelanggan kue. Karena uang kan sudah habis buat beli tanah, uang-uang sisa dan gadai sepeda. Awalnya rencana bikin 2 kamar tapi melebar bikin rumah. Tapi alhamdulillah setahun sudah lunas semua," imbuhnya.

Pundi-pundi cuan Eko pun semakin mengalir. Ia lantas memutuskan membangun lagi rumahnya jadi 2 lantai pada tahun 2012. Lalu, pada tahun 2016, ia berhasil membeli mobil.

"Kalau mobil belinya, kredit. Tahun 2021 sudah lunas, saya waktu itu beli Xenia," ujar Eko.

Kesuksesan Eko ini rupanya menginspirasi warga lain, mulai sejak itu, banyak yang belajar dari Eko dan berjualan kue keliling. Meski begitu, ada yang sukses tapi ada juga yang tak lama hanya bertahan.

"Tapi rezeki kan gak bisa di-copy paste meski jualannya sama. Ada juga yang hanya sementara. Ya karena itu memang butuh mental," terang Eko.

Sadar semakin banyak, Eko dan para pembuat serta penjual kue keliling lalu bermusyawarah untuk membentuk komunitas kampung kue tahun 2022. Tujuannya, agar bisa saling membantu dan lebih terkoordinir.

Penjual kue tradisional keliling di Berbek SidoarjoEko Susanto, penjual kue tradisional keliling saat melayani pelanggannya di Berbek Sidoarjo (Foto: Amir Baihaqi/detikJatim)

Hasil tabungan para anggotanya biasanya diberikan seminggu menjelang bulan Ramadan. Setelah itu, para pedagang akan libur selama sebulan dengan berbekal uang tabungan itu.

Anggota koperasinya pun kini sudah mencapai 60 orang. Mereka saat ini tak hanya terdiri dari komunitas kampung kue, tapi pedagang lainnya yang ingin menabung di koperasi.

Nominal anggota yang menabung pun bermacam-macam, namun paling rendah Rp 10 ribu tiap hari. Anggota koperasi juga bisa memanfaatkan kapan saja tanpa bunga jika membutuhkan uang.

"Minimal Rp 10 ribu dapat satu juta, kalau Rp 20 ribu dapat Rp 6 juta, ada yang Rp 50 dapat Rp 15 juta ada yang Rp 200 ribu dapat Rp 60 juta dibagikan seminggu sebelum bulan puasa," terang Eko.

Eko menjelaskan, sebagai yang diberi tugas membawa uang tabungan, Eko juga diberi hak untuk mengelola uang itu diinvestasikan Eko. Jika untung, Eko yang berhak mendapatkan labanya sendiri, tapi jika rugi, maka ia yang akan menanggungnya sendiri.

"Uang tabungan yang saya kelola biar gak pasif saya investasikan. Kalau untung saya yang menikmati tapi kalau rugi saya yang harus menggantinya. Intinya saat pembagian anggota dapat uang sesuai yang ditabung," jelas Eko.

Saat ditanya apakah pernah investasinya merugi? Eko mengaku pernah. Karena hal itu, ia harus menanggung uang tabungan milik anggota koperasi hingga Rp 200 juta.

Eko menuturkan, saat itu, ia menginvestasikan uang tabungan ke proyek bangunan, elpiji hingga barang bekas. Nahas, ketiga orang yang diserahi investasi itu meninggal dunia dalam waktu kurun waktu berdekatan.

Investasinya pun buyar, uang hilang. Namun, ia ia tak hilang akal. Ia kemudian memberanikan diri melakukan pinjaman uang ke bank hingga Rp 100 juta. Uang itu lantas dibagikan ke anggotanya sebagai tanggung jawabnya.

"Total Rp 200 juta ke dua bank. Salah satunya ke BRI. Tapi alhamdulillah lunas dalam waktu sekitar setahun. Waktu itu saya cicil per bulan Rp 7,2 juta. Pokoknya uang tabungan anggota bisa cair," kata Eko.

Meski demikian, ia mengaku tak kapok dengan kejadian itu, karena setiap usaha pasti ada risiko. Ia pun kembali tetap menginvestasikan uang tabungan anggotanya hingga kini dan bisa menikmati dari setiap investasinya.

Eko pun bersyukur dengan capaiannya hingga kini. Ia lantas mengungkapkan rahasia kesuksesannya yakni dengan rajin sedekah dan beribadah.

"Setiap memulai jualan saya pasti sedekah ke masjid atau ke anak yatim. Berapapun nilainya tapi selalu saya mulai dengan sedekah, juga rutin mengirim uang ke orang tua di Kediri," ungkapnya.

Sasqia (35), salah pembeli mengaku senang karena adanya kue yang dijajakan Eko. Sebab, jajanan tradisional termasuk kuliner yang langka di era sekarang.

"Yang jual cuma di tempat tertentu jadi termasuk langka. Untungnya ada masih kue masih dibuat. Hampir semua suka, tapi saya paling suka jajan srawut dan kucur," ujar ibu 2 anak itu.

Terpisah, mantri BRI Unit Rewwin, Waru, Annisa Eka Nur Aini menyebut, hampir semua anggota komunitas kampung kue merupakan nasabahnya, salah satunya Eko. Banyak di antara mereka juga yang mengajukan pinjaman kredit usaha rakyat (KUR).

Menurut Annisa, tak selamanya pinjaman KUR anggota komunitas kampung kue untuk modal usaha. Namun, sebagian juga untuk kebutuhan lain di luar usaha. Seperti untuk biaya sekolah anak hingga bayar utang.

"Iya benar. Hampir semuanya nasabah BRI. Mereka juga lancar-lancar saja saat nyicil pinjaman, tak pernah ada kendala sejauh saya jadi mantri," tandas Annisa.




(abq/hil)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads