Beratnya persaingan dengan platform e-commerce membuat pedagang konvensional di Pacitan menjerit. Mereka mengeluhkan sepinya penjualan sejak 2 bulan terakhir.
"Omzet turun sampai 75 persen," ujar Indah Setyawati, pedagang pakaian di Pasar Minulyo, Jl Gatot Subroto, Sabtu (30/9/2023).
Pantauan di pasar induk Kota 1001 Gua itu, kios-kios tampak sepi. Hal itu terutama terlihat di tempat penjual baju dan kain. Selama beberapa puluh menit tak satu pun pembeli datang.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Waktu awal pandemi lalu sudah sepi dan ini ditambah dengan tren penjualan online, " tambah Indah.
Sebenarnya, pedagang pasar seperti Indah sudah berusaha adaptif dengan tuntutan teknologi. Mereka pun mencoba mengembangkan sayap dengan melakukan penjualan secara daring. Hanya saja hasilnya tidak signifikan.
Bahkan, sejumlah pedagang mengaku pendapatan yang diperoleh tak mampu menutup biaya operasional. Menutup tempat usaha pun menjadi pilihan terakhir sebelum pindah haluan ke pekerjaan lain.
"Di sini kami harus sewa bedak (kios) Rp 2 juta per tahun. Kalau jualannya kayak gini mana mampu," imbuhnya.
Pedagang lain bernama Yayak, kondisinya tak kalah memprihatinkan. Dalam sehari ia hanya mampu menjual 1 atau 2 potong kain. Padahal sebelum serbuan penjualan via media sosial dirinya menjual 50 potong kain per hari.
Yayak pun menilai ada persaingan yang tak sehat. Pedagang pasar tidak mampu bersaing dengan online shop jika harga yang ditawarkan lebih murah dari tarif di pasar tradisional.
"Produsen sekarang kan juga ikut jualan online, kalau kami ikut harga online pasti merugi dong. Lihat aja sendiri, pasarnya sepi kayak kuburan," keluhnya.
Para pedagang berharap pemerintah mengeluarkan kebijakan yang berpihak pada UMKM. Dengan begitu pasar tradisional yang menjadi pusat perputaran ekonomi masyarakat kembali menggeliat.
(dpe/dte)