Komunitas petani organik di Desa Claket, Pacet, Kabupaten Mojokerto, Twelve's Organic kini beromzet Rp 20 juta setiap bulan. Omzet sebesar itu tentu saja bukan capaian yang instan. Dua mahasiswi pendirinya harus jatuh bangun sejak 2008.
Pertanian organik di Desa Claket dirintis Maya Stolastika (37) dan 4 sahabatnya yang semuanya perempuan tahun 2008. Ketika itu, mereka berlima masih berstatus mahasiswi Sastra Inggris di Unesa, Surabaya. Mereka nekat menceburkan diri ke pertanian organik hanya dengan modal patungan tanpa ilmu pertanian maupun bisnis.
Saat itu, Maya dan kawan-kawan menyewa kebun seluas 0,5 hektare di Dusun/Desa Claket. Mereka menanam sawi hijau atau caisim dengan mempekerjakan 1 petani perempuan dan 2 petani laki-laki. Claket mereka pilih karena kunjungan mereka tahun 2007.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ketika itu, mereka diminta menjadi penerjemah di acara Children Converence for Climate Changes yang digelar Pemkot Surabaya. Sebab, para peserta datang dari sejumlah negara, seperti Inggris, Australia dan Rusia. Selesai acara itu, Maya dan kawan-kawan berjalan-jalan ke Desa Claket. Mereka pun jatuh cinta dengan keindahan alam dan budaya masyarakat setempat.
Namun, pertanian organik itu gagal total karena mereka kelola tanpa ilmu sama sekali. Pasalnya, mereka tak mampu memasarkan hasil panen sekitar 1,2 ton caisim. Sehingga, produk tersebut terbuang begitu saja. Modal yang susah payah mereka kumpulkan dari memberi les Bahasa Inggris dan utang, juga ludes seketika.
"Karena tak punya ilmu pertanian maupun bisnis, tahun pertama gagal total. Kami rugi, modal habis, punya utang juga," kata Maya kepada detikJatim di kebun Twelve Organic, Dusun/Desa Claket, Minggu (26/3/2023).
Kegagalan membuat 3 sahabatnya mundur. Namun, tidak dengan Maya. Mahasiswi Sastra Inggris angkatan 2005 ini melanjutkan pertanian organik bersama seorang sahabatnya, Herwita Rosalina alias Wita (35).
Keputusan itu mereka ambil setelah menerima telepon dari seorang konsumen pada awal 2009. Konsumen tersebut menegur Maya lantaran tidak pernah ditawari sayur organik.
"Dari situ kami sadar apa yang kami lakukan untuk memenuhi kebutuhan hidup orang lain. Akhirnya kami memutuskan lanjut, tapi tak punya modal," terangnya.
Karena tak punya modal, Maya dan Wita sebatas menjualkan produk pertanian organik dari petani lain. Ketika itu, ia memenuhi pesanan sebuah supermarket di Surabaya. Dari supermarket ini lah dua mahasiswi itu belajar kualitas produk, umur panen dan packaging. Sampai akhirnya mereka lulus kuliah tahun 2010.
"Saat itu, kami distigma orang terdekat, ngapain sekolah tinggi-tinggi kalau jualan sayur. Juga kami dikira takut bersaing di dunia kerja," ungkapnya.
Penilaian tersebut justru membuat Wita dan Maya termotivasi membuktikan kapasitas mereka. Dua perempuan lajang asal Pandugo, Kelurahan Penjaringansari, Rungkut, Surabaya ini memutuskan bekerja di Bali.
Selama 2 tahun, mereka mampu bekerja di perusahaan milik orang Jerman dan Australia. Bahkan di awal 2012, mereka diminta menangani bisnis breakfast meeting milik orang Jerman.
Namun, Maya dan Wita menolak tawaran tersebut. Padahal, si orang Jerman sanggup menggaji berapa pun yang mereka minta. Tempat tinggal dan transportasi juga ditanggung sepenuhnya. Justru tawaran itu menjadi momen bagi keduanya untuk kembali ke pertanian organik. Sebab mereka merasa sudah cukup membuktikan diri kepada keluarga masing-masing.
"Memang dinilai orang-orang sebagai pilihan bodoh. Namun, kalau tawaran itu saya ambil, mungkin berhasil, tapi dampaknya hanya untuk kami berdua, cerita itu hanya milik kami. Dengan pilihan ini, cerita juga milik mereka para petani organik," cetusnya.
Maya dan Wita masih saja menemui jatuh bangun. Baca di halaman selanjutnya!