Kota Batu sebagai kota apel coba dipertahankan oleh Utomo (62). Meski sebenarnya pekerjaanya sebagai petani apel sudah tidak lagi menjanjikan seperti dulu.
Terlebih selama ini tak sedikit petani apel yang sudah beralih kepada tanaman lain karena terus merugi. Seperti yang ada di tempat asal Utomo Dusun Gerdu, Desa Tulungrejo, Kota Batu.
Dikatakan Utomo bahwa beberapa orang memilih untuk beralih menanam jeruk yang perawatannya tidak terlalu sulit tapi hasilnya masih menguntungkan.
"Saya bertahan sebagai petani apel karena ingin mempertahankan ikon kota batu sebagai kota apel," ujarnya saat ditemui detikJatim di kediamannya, Kamis (9/2/2023).
Ia sendiri juga memaklumi banyak orang yang beralih dari apel ke tanaman lain, karena untuk bertahan sebagai petani apel sendiri perlu telaten dan sabar. Sebab, kendala yang dihadapi petani apel saat ini juga cukup berat.
"Pertama kondisi tanah yang terlalu sering terkena pupuk kimia menjadi rusak sehingga berpengaruh pada hasil tanaman. Ini perlu mendapatkan penanganan dengan menggunakan pupuk organik," terangnya.
Kendala lain, harga obat-obatan yang terus meningkat tidak diimbangi dengan hasil panen yang didapat oleh para petani. Sehingga petani apel sering tidak mendapatkan untung bahkan sampai merugi.
"Obat harganya terus meningkat. Tapi apel sering dibeli murah, misal jika dihitung untuk biaya operasional habisnya sampai Rp 30 juta untuk satu musim (6 bulan), kemudian panen cuman dapat Rp 24 juta kan sulit," kata Utomo.
"Petani selama ini menjual ke pedagang, harganya pun tidak bisa stabil. Misal, harusnya perkilo di harga Rp 8-9 ribu agar untung tapi kenyatanya saat panen hanya laku di harga Rp 3-4 ribu," sambungnya.
Belum lagi saat buah musiman seperti mangga sedang panen raya. Secara otomatis harga apel akan anjlok drastis. Sedangkan saat harga apel mahal petani kesulitan mencari pembeli dengan harga pas dan akhirnya terpaksa menjual murah.
"Ketika mahal harganya sulit sekali menjualnya. Pedagang tidak mau membeli kecuali harga turun, lah kita kan takut kalau gak dijual nanti keburu busuk. Tapi kalau apel harganya murah diserbu sama pedagang," kata dia.
Untuk bertahan selama ini, dari 8 kebun yang dirawatnya 7 digunakan sebagai tempat wisata petik apel dan 1 kebun sisanya untuk dijual kepada pedagang.
Pejabat maupun wakil rakyat berulang kali mampir ke kebunnya. Berbagai keluhan sudah ditumpahkan kepada mereka. Tapi, sampai saat ini belum ada solusi yang muncul untuk mengeliatkan pertanian apel kembali.
(abq/iwd)