Pemuda Blitar Olah Kotoran Kambing Jadi Pupuk Organik yang Hasilkan Cuan

Pemuda Blitar Olah Kotoran Kambing Jadi Pupuk Organik yang Hasilkan Cuan

Erliana Riady - detikJatim
Selasa, 20 Des 2022 11:06 WIB
srintil wedus jadi pupuk organik
Dengan perlakuan sedemikian rupa, srintil wedus jadi pupuk organik (Foto: Erliana Riady)
Blitar -

Kreatifitas kerap muncul dalam kondisi kepepet. Kelangkaan pupuk subsidi memaksa sekelompok pemuda di Kecamatan Gandusari mengolah srintil (kotoran kambing) sebagai solusi. Cuanpun mengalir ketika produk mereka diminati para petani.

Deru mesin penggiling berkapasitas 6.5 PK berpadu dengan serpihan kotoran kambing yang tergiling. Empat pemuda dengan cekatan mengumpulkan serpihan dengan sekop, sementara yang lain memasukan kotoran kambing kering ke mesin dari corong di bagian atas mesin.

Kurang lebih seperti inilah keseharian Suwarno, Priyadi, Bajuri dan Sugeng, pemuda Desa Tulungrejo, Gandusari, Kabupaten Blitar. Ketiga pemuda ini bersama beberapa pemuda lain tergabung dalam Kelompok Masyarakat (Pokmas Sumbergondo) fokus dalam mengolah limbah kotoran kambing menjadi pupuk organik.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pengurangan drastis subsidi pupuk yang diperparah dengan kelangkaan pupuk di pasaran, memaksa pemuda desa yang awalnya hanya bekerja sebagai petani dan peternak kambing ini untuk putar otak memecahkan masalah yang sedang terjadi.

srintil wedus jadi pupuk organikSrintil wedus jadi pupuk organik (Foto: Erliana Riady)

"Kenapa srintil wedus, bukan kotoran sapi atau ayam yang kami olah, karena kepercayaan kami warga sekitar, pupuk dari kotoran kambing lebih tidak panas daripada kotoran ayam. Selain itu tidak cepat menumbuhkan gulma kayak kotoran sapi," tutur Suwarno kepada detikJatim, Selasa (20/12/2022).

ADVERTISEMENT

Pupuk organik yang dihasilkan dari limbah kotoran kambing ini awalnya dimanfaatkan untuk kebutuhan kelompok dan warga sekitar. Setelah berbagai percobaan dan implementasi, kelompok ini yakin pupuk organik kotoran kambing memiliki kelebihan dibanding dengan kotoran ayam mapun kotoran sapi.

Dalam pemilihan bahan bakunya pun kelompok ini tidak sembarangan. Kelompok hanya menerima kotoran kambing pedesaan yang sudah jelas pakan kambingnya dari dedaunan hutan. Bahkan untuk memenuhi permintaan pasar yang semakin besar, anggota kelompok rela mencari bahan baku dari peternak lereng Gunung Kawi. Ini semata-mata untuk menjaga kualitas pupuk.

"Jangan sampai niat kita menyuburkan tanah, malah jadi mencemari lingkungan" ungkap Bajuri.

Lambat laun, pemesanan produk ini terus bertambah bahkan hingga keluar Kabupaten Blitar. Para petani melon dan holtikultura di wilayah Blitar Selatan pun juga menjadi langganan tetap. Kapasitas produksi yang awalnya hanya berkisar 500 kuintal hingga 1 ton, kini melonjak hingga 8 ton per bulan.

"Awalnya memang hanya iseng-iseng, tapi kini malah bisa jadi tambahan penghasilan. Para peternak juga senang, kandangnya bersih dari kotoran malah dapat passive income" imbuh Priyadi.

Selain menjadi bisnis yang menguntungkan, upaya yang dilakukan Pokmas Sumbergondo ini juga bermuatan idealisme untuk back to Nature. "Tanah kita ini kan ibaratnya sudah lelah. Mau ditanami diobat dulu, biar tidak ada hama diobat lagi. Tanah kita ini sudah rusak sama pupuk kimia gitu. Jadi ini kontribusi kita, upaya mengajak untuk memakai pupuk organik menggantikan pupuk kimia," tegas Sugeng.

Rudi selaku ketua gapoktan Desa Pasiraman Kecamatan Wonotirto mengakui keunggulan kompos produksi kelompok ini. Pupuk organik yang belum berlabel ini diakuinya mampu meningkatkan produktifitas lahan garapannya, sekaligus menaikkan kapasitas panennya.

Rudi mengaplikasikan pupuk organik ini di semua jenis tanaman. Seperti melon, cabai dan saat ini sawi. Walaupun pupuk kimia tidak bisa serta merta langsung ditinggalkan, keberadaan pupuk organik ini dinilai sangat menguntungkan. Mengingat kondisi tanah saat ini kandungan organiknya menipis, sehingga tidak bagus untuk pertumbuhan tanaman.

"Komposisinya sekarang pakai pupuk organiknya 40 dibanding 60 pupuk kimia. Kondisi tanah sekarang kalau untuk mengejar panen memang tidak bisa langsung meninggalkan pupuk kimia," akunya.

Dengan memakai pupuk organik ini, Rudi mengaku bisa memangkas biaya pupuk untuk tanaman cabai sampai 70 persen. Dengan perhitungan 8.000 batang cabai biasanya membutuhkan 2 kuintal pupuk kimia . Namun dengan kombinasi pupuk organik ini, lahan cabainya hanya membutuhkan 80 kg pupuk kimia.

"Sekarang pupuk subdisi gak ada, ya terpaksa beli sendiri. Satu sak pupuk kimia isi 50 kg seharga Rp 850 ribu. Nah kalau pupuk organik ini, satu sak isi 25 kg harganya yang fermentasi hanya Rp 25 ribu. Untuk nanam cabai dulu biaya pupuknya saja bisa Rp 3,4 juta. Sekarang gak sampai Rp 1 juta sudah kelar semua. Panen bagus, lahan secara perlahan kembali subur," pungkasnya.




(abq/iwd)


Hide Ads