Sarung Goyor Tenun Jombang Tembus Pasar Timur Tengah-Omzetnya Ratusan Juta

Sarung Goyor Tenun Jombang Tembus Pasar Timur Tengah-Omzetnya Ratusan Juta

Enggran Eko Budianto - detikJatim
Jumat, 15 Apr 2022 14:17 WIB
Sarung goyor tenun di Jombang
Sarung hoyor tenun buatan Budi (Foto: Enggran Eko Budianto/detikJatim)
Jombang -

Sarung goyor tenun buatan Sugeng Riyadi (50), warga Desa Plumbon Gambang, Gudo, Jombang sukses menembus pasar Timur Tengah. Omzet penjualan sarung yang ditenun secara tradisional ini mencapai Rp 110 juta per bulan.

Mengawali bisnisnya 7 tahun lalu, Sugeng kini mempunyai 25 tukang tenun yang bekerja di rumahnya. Namun, selama pandemi COVID-19, ia meminta para perajin bekerja di rumah masing-masing.

Bapak tiga anak ini pun rela mengirim alat tenun bukan mesin (ATBM) dan bahan baku ke rumah tukang tenun masing-masing. Setiap akhir pekan, ia juga harus mengambil produk sarung goyor ke rumah para perajin. Sebagian perajin tinggal di Desa Plumbon Gambang, ada juga di Peterongan dan Mojoagung, hingga Purwoasri, Kediri.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Tukang tenun saya paling banyak di Purwoasri, Kediri, ada sekitar 15 orang," kata Sugeng kepada wartawan di rumahnya, Jumat (15/4/2022).

Untuk menghasilkan sebuah sarung goyor, setiap tukang tenun harus melalui proses yang rumit dan panjang. Mulai dari pewarnaan bahan dasar benang kapas putih menjadi benang dasar dan benang motif, hingga menenun benang dengan teknik ikat menjadi kain sarung.

ADVERTISEMENT

Oleh sebab itu, satu tukang tenun paling banyak menghasilkan 3 sarung goyor dalam sepekan. Biaya yang harus dikeluarkan Sugeng untuk sebuah sarung mencapai Rp 300 ribu. Biaya ini belum termasuk ongkos jahit kain tenun menjadi sarung, serta bahan baku.

"Saya kesulitan tenaga kerjanya. Kalau melatih baru, prosesnya lama dan belum tentu bisa," terangnya.

Seperti namanya, sarung goyor buatan Sugeng lembut dan halus. Motifnya pun beragam. Mulai dari motif garis lurus, zig-zag, segitiga, belah ketupat, lingkaran, bujur sangkar, motif parang, hingga motif sarung Bali. Khusus tahun ini, warna sarung yang laku adalah merah, hitam, hijau, oranye dan biru.

Sarung goyor tenun di JombangSarung goyor tenun di Jombang dibuat dengan proses tenun tradisional Foto: Enggran Eko Budianto/detikJatim

"Kelebihan sarung ini kalau dipakai sangat nyaman. Saat musim panas terasa dingin, saat musim dingin terasa hangat. Juga tidak perlu disetrika," jelasnya.

Sarung goyor tenun handmade bermerk Contonge dan Tebuireng ini menembus pasar sejumlah negara di Timur Tengah. Salah satunya Arab Saudi. Namun, bukan Sugeng sendiri yang mengekspor sarung tersebut. Ia menjual produknya ke perusahaan eksportir di Surabaya.

"Lucunya, sarung buatan saya di Arab Saudi sana kebanyakan dipakai para penggembala. Karena kainnya dingin kalau dipakai," cetusnya.

Sulitnya menambah tukang tenun membuat Sugeng tak mampu memenuhi pesanan eksportir. Dari 100 sarung yang dipesan, ia hanya mampu memenuhi 50 pcs. Meski begitu, omzet penjualan ekspor sudah mencapai Rp 100 juta per bulan.

Sementara penjualan di pasar lokal rata-rata 20 sarung dengan omzet Rp 10 juta per bulan. Para pembeli dari Surabaya, Lampung, Kalimantan Barat dan para pengasuh pondok pesantren di Jombang sendiri. Sebagian datang langsung ke rumah Sugeng, ada pula yang memesan secara online.

"Sarung goyor tenun yang saya produksi seharga Rp 500 ribu per pcs," ungkapnya.

Kakek satu cucu ini bersyukur bisnis sarung goyor tenun yang ia geluti tidak terdampak pandemi COVID-19. Justru perang Rusia dengan Ukraina yang berimbas terhadap perputaran bisnisnya.

"Sejak perang Rusia melawan Ukraina pecah, pasar agak seret uangnya. Bisanya satu minggu langsung dibayar, sekarang bisa 2 sampai 3 minggu. Mungkin karena harga barang pada naik, penjualan eksportir agak tersendat juga," jelasnya.

Sarung goyor tenun di JombangCorak sarung goyor tenun di Jombang Foto: Enggran Eko Budianto/detikJatim

Selain itu, harga bahan baku benang kapas yang diimpor dari Tiongkok juga ikut naik. Dari sebelumnya Rp 550 ribu menjadi Rp 750 ribu per pres. Setiap pres benang cukup untuk memproduksi 20 sarung goyor tenun. Di lain sisi, kualitas benang kapas lokal jelek karena mudah putus.

"Biasanya bahan baku lancar, saya butuh langsung dikirim dari Surabaya. Sejak perang pecah, bahan baku telat sampai tiga bulan, pengiriman kan melalui laut," tandas Sugeng.




(hil/dte)


Hide Ads