Desa Bejijong, Kecamatan Trowulan, Mojokerto lebih dikenal sebagai desa wisata Kampung Majapahit. Kelebihan lain, desa itu juga menjadi sentra kerajinan patung kuningan sejak 1967. Produk tersebut banyak diminati turis mancanegara.
Sejumlah warga asli merupakan pengrajin patung kuningan. Seperti Supiyo yang memulai membuka bisnis kerajinan patung kuningan 10 tahun lalu. Sebelumnya, dia menjadi karyawan di salah satu tetangganya yang juga membuat patung kuningan.
"Setelah dapat pengalaman produksi dan cara pemasaran, saya usaha sendiri sejak 10 tahun lalu. Awalnya produksi 10-20 Kg kuningan per bulan, terus berkembang sampai sekarang," kata Supiyo kepada detikJatim di rumah produksinya, Rabu (16/3/2022).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selama ini, Supiyo memasarkan produk kerajinannya ke sebuah toko seni/artshop di Bali, Yogyakarta dan Solo. Terbukti, produk itu diminati wisatawan lokal maupun asing.
"Kebanyakan pembelinya para turis asing yang berwisata ke Bali," terang Supiyo.
Supiyo telah mendesain lebih dari 100 model patung sampai saat ini. Menurut dia, desain patung yang paling banyak diminati adalah rupa dewa-dewi, seperti patung Dewa Siwa, Dewa Wisnu, Dewi Parwati dan Dewi Kali.
Selain itu, Supiyo juga membuat patung Budha dan aneka dekorasi rumah. Mulai dari tombak, keris, pegangan pintu, aksesoris lampu, dan tempat lilin.
"Awalnya, kami mendesain sesuai permintaan toko. Namun sekarang tokonya sudah punya contoh produk kami, jadi mereka tinggal bilang saja mau model yang mana," ujarnya.
![]() |
Selain bentuk, ukuran patung kuningan buatan Supiyo juga beragam. Mulai dari tinggi 30 cm sampai ratusan sentimeter. Sedangkan ketebalan kuningan berkisar 1,5 mm hingga 15 mm.
"Harga patung sesuai ukuran dan tingkat kerumitan. Paling murah Rp 300 ribu dan paling mahal Rp 3 juta," ungkap bapak 2 anak itu.
Sebelum pandemi COVID-19, omzet kerajinan patung kuningan Supiyo mencapai Rp 50 juta per bulan. Serta menghabiskan 300 kilogram kuningan setiap bulan untuk memproduksi beragam patung bersama 10 karyawannya.
Namun, selama pandemi, Supiyo hanya memproduksi beberapa jenis patung untuk keperluan stok agar karyawannya tetap bekerja. Omzet penjualannya kini bahkan tidak mencapai Rp 10 juta per bulan.
"Misalnya ada pesanan 10 patung, saya produksi 15 buah. Untuk menghabiskan stok, selalu saya pasarkan ke artshop supaya laku," tandas dia.
Tidak hanya itu, harga bahan baku yang terus naik juga memukul bisnis yang ditekuni Supiyo. Sebelum pandemi, harga bahan baku berupa rongsokan kuningan hanya Rp 65-70 ribu per kilogram. Saat ini, harganya mencapai Rp 90 ribu per kilogram. Sementara harga lilin untuk cetakan patung juga naik dari Rp 20 ribu menjadi Rp 35 ribu per kilogram.
"Kalau naiknya sekaligus begitu, kami menyesuaikan harga pesanan. Untuk harga tanah (Untuk membungkus cetakan) kami siasati dengan daur ulang," tutur dia.
Sekretaris Desa Bejijong, Agus Kasiyanto mengatakan kerajinan patung kuningan di kampung itu ada sejak 1967. Kala itu, warga Belanda menularkan ilmunya kepada salah seorang warga bernama Sabar. Setelah menguasai kerajinan patung kuningan, Sabar mempekerjakan warga sekitar.
Seiring berjalannya waktu, warga mulai membuka usaha sendiri. Kerajinan ini pun berkembang pesat tahun 1998-2000. Para perajin juga mampu membuat patung berbahan tembaga, perunggu dan perak.
"Pada masa keemasan tahun 1998-2000 ada 200 perajin. Sekarang tinggal 40 perajin saja, yang lain sudah gulung tikar," jelas Agus.
Agus juga menekuni bisnis patung kuningan sejak 1989. Dia melanjutkan usaha sang ayah. Agus biasa memasarkan produknya ke artshop di Bali, Jakarta, Solo dan Yogyakarta.
"Sebelum pandemi, omzet saya Rp 60-70 juta per bulan. Setiap bulan kirim sekitar 400-500 patung. Selama pandemi permintaan sangat turun. Saya hanya mengandalkan produksi patung edisi terbatas yang jumlahnya hanya 6-10 patung per bulan," pungkasnya.
(hse/fat)