Rumah yang seharusnya menjadi tempat paling aman justru bisa menjadi ancaman serius bagi seorang ibu. Persoalan ekonomi, sosial, hingga berbagai masalah rumah tangga dari yang berat bahkan hingga yang ringan sewaktu-waktu bisa memicu kekerasan terhadap ibu yang datang dari orang terdekat seperti suami.
Dalam banyak kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), sosok ibu sering berada di posisi paling rentan. Bukan hanya sebagai korban tetapi juga sebagai pihak yang tetap dituntut bertahan, mengasuh, dan melindungi anak-anaknya di tengah risiko kekerasan yang mengintai.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) mencatat kekerasan yang terjadi pada perempuan di Indonesia tahun ini hingga 18 Desember 2025 ada sebanyak 26.377 dengan 2.333 di antaranya dialami perempuan di Jawa Timur.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Rupanya angka itu didominasi kekerasan rumah tangga dengan jumlah kasus berdasarkan tempat kejadian sebanyak 1.693 kasus dan jumlah korban berdasarkan tempat kejadian sebanyak 1.814 kasus.
Psikolog Klinis dan Forensik Surabaya Riza Wahyuni mengatakan bahwa hierarki hubungan laki-laki dan perempuan dalam perspektif gender masih timpang. Di beberapa wilayah masih memiliki anggapan bahwa laki-laki sebagai kepala rumah tangga seolah-olah menjadikan segala keputusan ada di tangan laki-laki.
"Sebelum menikah penting sekali memiliki perspektif tentang gender, jadi ini akan menghindarkan pasangan tersebut dari apa yang disebut patriarki," kata Riza.
Riza menyatakan bahwa pernikahan harus dilandasi perasaan saling membutuhkan. Dengan memahami konsep perbedaan bahwa satu sama lain harus saling mengisi, kekerasan dalam rumah tangga akan mengecil risikonya.
Stigma yang Perparah KDRT
Kepada detikJatim Riza mengatakan bahwa KDRT adalah masalah struktural yang sangat kompleks. Akar masalah KDRT dari kaca mata psikologis menurutnya juga tidak mudah untuk diurai setiap faktornya satu per satu.
KDRT di Jawa Timur hingga 2025 didominasi korban yang berusia 13-17 tahun dengan jumlah korban 1.045 orang. Jumlah ini lebih tinggi dibandingkan korban dengan usia dewasa dengan rentang usia 15 tahun-44 tahun dengan jumlah mencapai 688 orang.
Tingginya angka korban yang merupakan perempuan usia dini ini tak jauh dari stigma negatif masyarakat terhadap usia pernikahan. Tekanan sosial yang datang ditafsirkan sebagai suatu keharusan bahwa menikah ada batasan umurnya.
"Kalau tidak segera menikah akan menimbulkan stigma negatif. Kalau laki-laki disebutnya bujang tidak laku, kalau perempuan ya perawan tua," jelas Riza yang sudah menangani kasus serupa puluhan tahun.
Lebih parahnya lagi, Riza mengatakan bahwa banyak kekerasan rumah tangga berupa penelantaran. Artinya pernikahan dilakukan hanya untuk menghindari hukuman undang-undang di mana korban yang sebelumnya hamil duluan kemudian dinikahkan.
"Mereka cuma takut tuntutan hukuman bahwa sudah disebutkan dalam undang-undang perlindungan anak, siapa yang melakukan persetubuhan terhadap anak di bawah umur akan dikenakan tuntutan hukuman 5 tahun, maksimal 15 tahun, denda 5 miliar," terang Riza.
Di sisi lain faktor ketidaksiapan finansial atau ekonomi juga turut menjadi akar di balik kekerasan dalam rumah tangga. Ekonomi yang seharusnya menjadi salah satu penguat dalam rumah tangga dan ketika itu terjadi ketidakseimbangan atau terjadi kesulitan keuangan maka akan memengaruhi kondisi mental.
"KDRT selama ini dipahami sebagai kekerasan fisik, padahal bukan cuma itu loh, Mbak. KDRT juga dapat berbentuk kekerasan seksual, penelantaran, atau yang paling parahnya kekerasan psikis yang selalu menjadi ekor dari kekerasan fisik," tutur Riza.
Selama menangani kasus bersama kepolisian, Riza bercerita bahwa banyak sekali perempuan yang ditelantarkan suaminya, tidak dinafkahi, hingga menjadikan anak dalam kondisi 'fatherless' atau hilangnya peran ayah di dalam keluarga.
Perempuan sebagai sosok ibu yang dipasrahi urusan dapur juga kewalahan mengatasi perekonomian rumah tangga yang terguncang akibat kebiasaan judi online. Mereka tetap diminta untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari di tengah risiko menjadi sasaran kemarahan akibat kondisi mental yang tidak baik.
Kenapa KDRT Terus Meningkat?
Apabila mengacu pada data yang disajikan oleh KemenPPPA, kasus kekerasan yang terjadi pada perempuan sepanjang 2024 di Jawa Timur sebanyak 2.169 kasus sedangkan pada 2023 sebanyak 2.160 kasus.
Kasus kekerasan terhadap perempuan di Jawa Timur mengalami kenaikan. Mengapa bisa terjadi? Sebagaimana yang kita tahu, hampir di semua lini sudah mengupayakan untuk menekan angka kasus KDRT, seperti kepolisian melalui Subdit Renakta telah memberikan upaya seperti penanganan dan penindakan terhadap korban sekaligus pelaku.
Sebagai seorang psikolog, Riza memandang hal ini sebagai fenomena 'ledakan gunung es'. Fenomena ini berkaitan dengan mudahnya masyarakat untuk mendapatkan informasi termasuk bagaimana cara mengajukan pengaduan tindakan kekerasan.
"Dengan adanya informasi yang selalu diberikan kepada publik, perempuan saat ini lebih berani untuk mengadukan hal-hal yang berkaitan dengan pribadinya. Dan ini masih bisa dibilang sebagai tahap awal ya, dari yang sebelumnya masyarakat masih terpaku pada stigma negatif bahwa KDRT adalah aib keluarga," jelas Riza.
Menurut Riza, ini semacam babak baru dari persoalan kekerasan dalam rumah tangga. Naiknya catatan kasus kekerasan merupakan bentuk dari perlawanan rasa takut oleh perempuan.
Melalui peringatan Hari Ibu 2025, Riza berharap bahwa ini bukan hanya sekadar menjadi peringatan tiap tahunnya. Perempuan berhak untuk mendapatkan dukungan dan perlindungan. Riza menghimbau seluruh lapisan masyarakat dapat bersinergi dalam memecah persoalan yang hingga kini masih menghantui para ibu.
"Kita perlu menyadarinya terlebih dahulu. Dengan kesadaran tentang posisi dirinya (laki-laki) sebagai sosok yang melindungi serta posisi perempuan sebagai istri yang berhak mendapatkan perlindungan, gunung es ini akan segera mencair. Angka kekerasan dalam rumah tangga akan turut menurun," pungkas Riza.
(ihc/dpe)











































