Mengenang Soe Hok Gie, Aktivis Muda yang Meninggal di Gunung Semeru

Allysa Salsabillah Dwi Gayatri - detikJatim
Rabu, 17 Des 2025 14:45 WIB
Soe Hok Gie. Foto: Istimewa.
Surabaya -

Namanya Soe Hok Gie, 56 tahun lalu, ia berencana merayakan ulang tahun ke-27 di puncak gunung tertinggi di Pulau Jawa, Gunung Semeru. Namun, sehari sebelum hari kelahirannya, Gie berpulang dalam dekapan Semeru bersama kawannya, Idhan Lubis.

Soe Hok Gie atau yang disapa akrab dengan panggilan Gie, merupakan salah satu aktivis angkatan 66. Ia lahir pada 17 Desember 1942 di Jakarta. Kecintaannya pada mendaki gunung kerap menjadi pelarian untuk menghilangkan rasa penat soal pergulatan politik pada masa itu.

Mengenal Soe Hok Gie

Soe Hok Gie merupakan anak dari pasangan Soe Lie Pit atau yang dikenal dengan nama Salam Sutrawan seorang novelis dan Nio Hoe An. Ia merupakan anak keempat dari lima bersaudara. Kakaknya juga merupakan seorang intelektual dan aktivis, yakni Soe Hok Djie atau yang disapa akrab dengan nama Arief Budiman.

Sejak duduk di bangku sekolah dasar, Soe Hok Gie dan kakaknya Soe Hok Djie sering menghabiskan waktu ke perpustakaan umum dan beberapa taman bacaan di pinggir-pinggir jalan di Jakarta.

Bahkan, Gie telah membaca karya-karya sastra serius sejak masa ini seperti karya Pramoedya Ananta Toer. Ayahnya yang merupakan seorang penulis disebut turut mempengaruhi kedekatannya dengan sastra.

Ketika masuk di sekolah menengah pertama, pemikirannya mulai terasah. Ia mulai membaca dengan berbagai jenis bacaan. Mulai dari karya William Shakespeare, George Orwell, hingga Mochtar Lubis. Soe Hok Gie selalu update dengan isu-isu sosial yang berkembang melalui bacaan media yang ada pada saat itu.

Melanjutkan ke sekolah menengah atas di Kanisius, ia memilih sastra sebagai jurusannya. Pada masa itu, ia mulai menuangkan kegelisahannya terhadap kondisi negara dalam catatan hariannya.

Pengalaman sehari-hari yang ia temukan di jalanan juga dicatat dengan gaya penulisannya yang kritis dan menohok. Soe Hok Gie meneruskan pendidikannya di Fakultas Sastra Universitas Indonesia Jurusan Sejarah tahun 1962-1969.

Gie juga menjadi salah satu pendiri organisasi mahasiswa pencinta alam (mapala) di Universitas Indonesia. Selain itu, ia juga merupakan seorang penulis. Berbagai tulisannya kerap dipublikasikan melalui koran-koran seperti Kompas, Harian kami, Sinar Harapan, Mahasiswa Indonesia, dan Indonesia Raya.

Gerakan Mahasiswa 1965

Memasuki jenjang perguruan tinggi, kemampuan berpikir kritis dan analisis Soe Hok Gie semakin berkembang. Ia dikenal karena kepiawaiannya dalam berpendapat yang kritis, dan keinginannya begitu besar untuk perubahan negara.

Gie juga kerap disebut sebagai kutu buku yang gemar berdiskusi. Buku menjadi salah satu benda yang paling lekat dalam kesehariannya. Selain membaca, ia juga menaruh minat pada film dan aktivitas mendaki gunung.

Selama duduk di perguruan tinggi, idealnya seorang mahasiswa yang tertarik dengan dunia aktivis akan bergabung dengan organisasi ekstra yang menonjol saat itu. Misalnya, GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia), CGMI (Central Gerakan Mahasiswa), dan HMI (Himpunan Mahasiswa Islam).

Namun, Soe Hok Gie tak tertarik dengan organisasi-organisasi semacam itu. Baginya organisasi tersebut merupakan underbow partai-partai. Gie memilih gabung dalam organisasi yang mewakili semangat ideologi yang dianut, GMSos (Gerakan Mahasiswa Sosialis).

Pada masa pemerintahan Presiden Sukarno saat itu, ia banyak membubarkan partai maupun organisasi yang dinilai tidak sejalan dengan kebijakan pemerintah. Kondisi ini membuat kegelisahan di kalangan mahasiswa, termasuk Soe Hok Gie.

Pada 1966, mahasiswa turun ke jalan menggelar demonstrasi dengan membawa Tri Tuntutan Rakyat (Tritura), yakni bubarkan PKI, bersihkan Kabinet Dwikora, dan turunkan harga kebutuhan pokok. Gie menjadi penggerak intelektual aksi mahasiswa, serta menjadi tokoh penting dalam terbentuknya aliansi mahasiswa dan militer.

Gunung Semeru dan Akhir Hidup Soe Hok Gie

Pada Desember 1969, Soe Hok Gie bersama rombongan Mapala UI mendaki Gunung Semeru. Ia naik bersama kawan-kawannya, yakni Idhan Lubis, Aristides Katoppo, Herman Lantan, dan lainnya.

Namun, pada 16 Desember 1969, ia dan Idhan Lubis menghirup gas beracun dan meninggal dunia di puncak Mahameru. Gie meninggal satu hari sebelum hari ulang tahunnya.

Gie dimakamkan di pemakaman Menteng Pulo pada 24 Desember 1969. Namun, dua hari kemudian, dipindahkan ke Pekuburan Kober, Tanah Abang. Pada 1975, Ali Sadikin yang merupakan Gubernur DKI Jakarta saat itu, membongkar Pekuburan Kober sehingga jenazah yang dimakamkan di sana harus dipindahkan.

Keluarga Soe Hok Gie menolak pemindahan tersebut. Sementara rekan-rekannya teringat pesan Gie yang ingin jasadnya dikremasi dan abunya ditebar di gunung jika ia wafat. Dengan demikian, akhirnya Gie dikremasi dan abunya disebarkan di Lembah Mandalawangi, Gunung Pangrango.



Simak Video "Video: Film yang Paling Sering Ditonton Ulang Chelsea Islan"

(hil/irb)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork