Risiko Baterai Drone Diungkap Pakar Setelah Kebakaran Tewaskan 22 Orang

Muhammad Aminudin - detikJatim
Jumat, 12 Des 2025 19:45 WIB
Penasihat Federasi Drone Indonesia Arya Dega (Foto: Dok. Istimewa)
Malang -

Sebanyak 22 orang tewas saat gedung Terra Drone di kawasan Kemayoran, Jakarta Pusat terbakar (9/12). Insiden ini memicu perhatian besar terhadap keamanan industri drone di Indonesia.

Pakar drone sekaligus penasihat Federasi Drone Indonesia Arya Dega memaparkan serangkaian faktor risiko pada baterai drone modern yang kerap menjadi pemicu kebakaran.

Menurut Arya, sebagian besar drone saat ini masih menggunakan baterai Lithium Polymer (Li-Po) dan Lithium-Ion (Li-Ion). Meskipun teknologi Lithium Ferro Phosphate (LFP) mulai populer karena lebih stabil.

"Dan semua baterai berbasis lithium tetap memiliki potensi risiko tinggi, terutama jika terjadi gangguan pada proses pengisian maupun penyimpanan," ujar Arya Dega kepada detikJatim, Jumat (12/12/2025).

Arya menjelaskan bahwa salah satu bahaya terbesar adalah thermal runaway, yakni kondisi ketika suhu baterai meningkat tak terkendali hingga mencapai 120 sampai 300 celsius dan memicu pelepasan gas mudah terbakar.

Hal itu bisa saja terjadi ketika adanya proses pengisian berlebih atau overcharging yang dapat membuat suhu sel naik drastis hingga akhirnya meledak atau terbakar.

Selain itu, lanjut Arya Dega, terjadinya overdischarging, dimana kondisi ini juga bisa menyebabkan endapan logam lithium pada anoda dan memicu korsleting internal saat baterai diisi ulang.

Dia tambahkan juga kemungkinan penyebab lainnya adalah arus pendek atau korsleting internal yang bisa terjadi akibat cacat manufaktur atau korsleting eksternal akibat terminal bersentuhan dengan material konduktif. Keduanya bisa menimbulkan lonjakan arus dan panas lokal yang tinggi.

Kemungkinan berikutnya adalah penyimpanan baterai di ruangan panas atau terkena paparan matahari langsung yang akan meningkatkan risiko self-heating yang berujung pada kegagalan termal.

Terakhir, bisa juga dikarenakan kerusakan baterai akibat jatuh, tertindih, atau tertusuk sehingga baterai mengalami deformasi internal yang memicu api secara tiba-tiba.

"Ketika satu sel gagal, panasnya bisa menjalar ke sel lain. Proses ini terjadi sangat cepat dan sulit dipadamkan," bebernya.

Arya Dega menambahkan bahwa kebakaran lithium menghasilkan berbagai gas beracun seperti HF, CO, dan HCN. Ia juga menyoroti tingginya risiko di ruang perakitan baterai atau drone, terutama ketika banyak baterai disimpan berdekatan tanpa pengawasan yang memadai.

Menurutnya, faktor-faktor yang meningkatkan potensi bahaya meliputi jumlah baterai yang banyak dalam satu ruangan, kesalahan prosedur pengisian daya, terminal baterai yang terbuka dan berdekatan dengan alat konduktif, ventilasi ruangan yang buruk, dan suhu ruangan yang tidak terpantau.

"Belum ada alat deteksi gas khusus dari reaksi baterai lithium. Karena itu, ventilasi yang baik adalah kunci utama pencegahan," jelas Arya.

Di tengah meningkatnya kekhawatiran itu, Arya menyebut bahwa baterai Sodium atau Natrium-Ion mulai banyak beredar dan bisa menjadi alternatif lebih aman untuk industri drone.

Baterai ini berbahan dasar garam dan tidak mudah terbakar meski mengalami korsleting atau kerusakan fisik.

"Teknologi natrium-ion masih berkembang, tetapi dari sisi keselamatan, ia menawarkan potensi yang jauh lebih baik," kata Arya.

Pasca tragedi di Kemayoran, para pelaku industri drone didorong untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap standar keamanan baterai mulai dari penyimpanan, transportasi, hingga prosedur pengisian daya. Peningkatan fasilitas ventilasi dan pengawasan suhu ruangan juga dianggap sangat krusial untuk dievaluasi.

"Di Federasi Drone sebenernya udah lama masuk silabus mengenai SOP penanganan dan perawatan baterai lithium. Tapi masih terbatas sosialisasinya dan peminatnya juga minim," katanya.



Simak Video "Video Saksi Mata Akui Dengar Ledakan saat Kebakaran Gedung Terra Drone"

(auh/abq)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork