Kisah Ida, Penyintas 'Pedila' yang Dirikan Komunitas Pelindung Perempuan

Anastasia Trifena - detikJatim
Rabu, 03 Des 2025 06:30 WIB
Mufida Atmadja atau Ida, Penyintas Pedila yang Kini Dirikan Komunitas 'Pelindung' Perempuan. (Foto: Anastasia Trifena/detikJatim)
Surabaya -

Mufida Atmadja atau Ida (55) tumbuh di lingkungan dengan budaya patriarki yang kuat. Masa remajanya terampas sejak awal. Pada usia 14 tahun, ia dipaksa menikah dan harus meninggalkan bangku sekolah.

Sejak kecil, Ida dikenal gemar belajar meski lingkungannya memandang perempuan dari seberapa banyak harta yang dimiliki. Namun baginya, ilmu adalah harta paling berharga.

"Saya itu sampai kerja di sawah ikut orang, Mbak. Upahnya saya kumpulkan untuk sekolah," cerita Ida saat ditemui detikJatim, Selasa (2/12/2025).

Namun asa itu pupus. Sekolah Dasar menjadi pendidikan terakhirnya. Mengingat neneknya adalah sosok yang disegani di kampung dan menjadi satu-satunya orang yang membesarkan Ida, keputusan keluarga harus dipatuhi tanpa banyak bicara.

"Nenek saya marah pas tahu saya sekolah. Akhirnya gagal juga sekolah itu (nggak lulus). Terus ya udah saya pasrah dinikahkan," kenang Ida.

Ida memang diasuh oleh neneknya seorang diri saja. Pasalnya kedua orang tuanya bekerja jauh di Sumatera. Memasuki usia remaja awal, Ida dipaksa menjadi dewasa oleh keadaan.

Pernikahan dini membuatnya harus menghadapi tekanan, tuntutan, hingga kekerasan dalam rumah tangga. Ia harus menuruti setiap keinginan suami, yang saat itu juga masih sama-sama kecil.

Meski begitu, keinginan untuk belajar tidak pernah padam. Di balik semua tekanan, Ida tetap berkeyakinan bahwa perempuan harus memiliki pengetahuan agar tidak terus menjadi korban keadaan.

Akhirnya, Ida memilih berpisah dengan suaminya pada tahun ketiga pernikahan. Ia pergi ke kota untuk menghidupi anak-anaknya yang masih balita.

Namun, kenyataan di luar justru membuka babak baru yang lebih berat. Ida sempat ditipu dan ditinggalkan kawannya sendiri di sebuah rumah yang ternyata adalah tempat pelacuran.

"Saya pernah jadi pedila (perempuan yang dilacurkan) dan di-tracking malam-malam sama teman saya," ucapnya sambil tertawa getir.

Pengalaman itu menjadi titik balik. Ida mulai mempertanyakan mengapa perempuan selalu berada di posisi yang selalu disalahkan dan paling dirugikan.

Budaya patriarki, kurangnya pendidikan, dan tidak adanya ruang aman bagi perempuan untuk bersuara adalah akar masalahnya. Dari sana muncul dorongan kuat dalam dirinya untuk membantu perempuan lain yang mengalami nasib serupa.

Ida mengambil peran aktif di isu pemberdayaan perempuan. Ia bergabung sebagai relawan di Yayasan Hotline Surabaya. Kemudian, mendirikan Komppas (Kelompok Penanganan Perempuan dan Anak Korban Trafficking Surabaya) yang kini telah beroperasi selama 27 tahun.

Melalui komunitas ini, Ida mendampingi para penyintas lewat advokasi, edukasi, dan perlindungan yang menjaga pedila dari berbagai bentuk kekerasan fisik maupun psikis.

Dari seorang perempuan yang dirampas hak pendidikannya hingga menjadi penyintas pedila, Ida menjelma jadi pejuang hak-hak perempuan yang mengalami kekerasan.

Lewat setiap karya maupun pengabdiannya, ia berharap tidak ada lagi perempuan yang harus melalui 'gelap' sendirian seperti yang dulu ia pernah rasakan.



Simak Video "Video: Kemensos dan KPAI Kerja Sama Cegah Perundungan di Sekolah Rakyat"

(auh/hil)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork