Surabaya Berpeluang Lebih Hemat Energi, Ini yang Perlu Dikembangkan

Surabaya Berpeluang Lebih Hemat Energi, Ini yang Perlu Dikembangkan

Aprilia Devi - detikJatim
Rabu, 03 Des 2025 05:30 WIB
Konsorsium SETI dan Pemkot Surabaya saat membahas konsumsi energi.
Konsorsium SETI dan Pemkot Surabaya saat membahas konsumsi energi. (Foto: Istimewa)
Surabaya -

Pemkot Surabaya bersama konsorsium Sustainable Energy Transition in Indonesia (SETI) merilis Studi Baseline Energy Consumption. Studi ini memotret penggunaan energi di 305 bangunan, mulai gedung pemerintah, komersial, sosial, hingga hunian.

Dari studi itu, emisi operasional bangunan di Surabaya pada 2024 diperkirakan menembus lebih dari 4,8 juta ton CO₂. Sebagai pembanding, DKI Jakarta berada di kisaran 19 juta ton CO₂. Angka ini menunjukkan tantangan besar dalam pengelolaan energi di kawasan perkotaan.

Kepala Bappedalitbang Surabaya, Irvan Wahyudrajad menyebutkan temuan itu menjadi dasar penting bagi kebijakan Kota Surabaya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Data ini membantu kami mengidentifikasi area paling boros energi dan menyusun pendekatan yang lebih tepat untuk mewujudkan Surabaya sebagai kota yang berkelanjutan dan rendah karbon," ujar Irvan dalam keterangan yang diterima detikJatim, Selasa (2/12/2025).

Ia menegaskan pemanfaatan hasil studi ini akan memperkuat langkah Surabaya dalam mencapai target lingkungan yang tertuang dalam RPJMD.

ADVERTISEMENT

"Dengan data yang lebih solid, kami bisa menyusun kebijakan yang lebih presisi untuk menurunkan emisi dan meningkatkan efisiensi energi di sektor bangunan," tambahnya.

Lebih lanjut, laporan itu juga mencatat pelanggan rumah tangga R1M 900 VA non-subsidi menjadi kelompok terbesar, menyumbang sekitar 20% dari total penjualan listrik tahun 2024.

Untuk sektor non residensial, rumah susun tercatat sebagai pengguna energi paling intensif dengan EUI 491,75 kWh/m²/tahun, disusul bangunan komersial 361,53 kWh/m²/tahun.

Pada sektor hunian, konsumsi energi rumah tapak dipengaruhi kuat oleh penggunaan AC. Rumah dengan AC memiliki median konsumsi 380,55 kWh/m²/tahun, hampir dua kali lipat dibanding rumah tanpa AC. Setiap penambahan satu unit AC bahkan memicu kenaikan konsumsi listrik 107–114 kWh per bulan.

Studi itu juga menunjukkan adanya selisih besar antara rata-rata dan median konsumsi di beberapa kategori bangunan, menandakan sebagian bangunan menggunakan energi jauh di atas batas umum. Contohnya, bangunan pemerintah hanya 1% dari total pelanggan non-residensial, tapi kontribusi konsumsi listriknya mencapai 9%.

Manajer Proyek SETI dari IESR, Malindo Wardana, menilai temuan ini sudah bisa langsung dijadikan dasar kebijakan.

"Studi ini memberikan baseline yang dapat segera digunakan pemerintah daerah untuk merumuskan kebijakan, mulai dari benchmarking energi, insentif retrofitting, hingga percepatan adopsi PLTS atap. Surabaya memiliki peluang besar menjadi kota percontohan dalam efisiensi energi dan transisi energi," tuturnya.

Penelitian itu juga memetakan potensi PLTS atap di Surabaya, tanpa memasukkan atap bangunan industri. Kapasitasnya diperkirakan mencapai 379 MWp, dengan produksi energi sekitar 568,6 GWh per tahun dan potensi pengurangan emisi hingga 494.645 ton CO₂.

Energi sebesar itu setara suplai listrik bagi sekitar 134.877 rumah tangga dengan konsumsi rata-rata 351 kWh per bulan.

"Potensi PLTS atap di Surabaya ini bukan hanya besar, tetapi juga sangat layak dikembangkan," kata Malindo.

Studi itu memberi gambaran lokasi prioritas yang bisa dikejar pemerintah kota untuk mempercepat adopsi PLTS atap. Sementara itu, survei potensi Bangunan Gedung Hijau (BGH) menunjukkan 82,41% pengelola bangunan non-residensial sudah memahami konsep BGH dan berminat mengikuti sertifikasi.

"Hasil penilaian menunjukkan, lima bangunan pemerintah dan tiga bangunan swasta termasuk dalam kategori paling siap menuju sertifikasi berdasarkan aspek efisiensi energi, manajemen bangunan, penghematan air, dan intensitas energi," pungkas Malindo.




(auh/hil)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads