Kata Sosiolog Soal Fenomena Manusia Hutan Mojokerto-Jombang

Allysa Salsabillah Dwi Gayatri - detikJatim
Rabu, 26 Nov 2025 20:15 WIB
Tiga keluarga manusia hutan yang bertahan hidup di pedalaman Mojokerto-Jombang. (Foto: dok. Enggran Eko Budianto/detikJatim)
Mojokerto -

Fenomena 3 keluarga yang memilih hidup di pedalaman hutan Mojokerto-Jombang selama puluhan tahun menarik perhatian publik. Keputusan mereka meninggalkan keramaian dan menetap di tengah belantara hutan dianggap sebagai pilihan yang ekstrem.

Namun, bagi sosiolog, keputusan itu menyimpan nilai penting. Masyarakat bisa belajar bahwa bapak ibu yang memutuskan tinggal di hutan itu justru malah bisa menjadi edukator untuk kelestarian hutan.

Dosen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Malang, Ahmad Arrozy, M.Sos menilai bahwa tindakan para manusia hutan itu kemungkinan dilakukan karena sudah merasa tak mampu menyesuaikan diri dengan berbagai tuntutan dan standar kehidupan di desa.

"Karena bagi bapak ibu yang memutuskan tinggal di hutan, memang sudah tidak sanggup dengan standar-standar yang ada di pedesaan. Jadi, respon terhadap standar-standar yang dipamerkan di dalam kehidupan pedesaan maupun perkotaan, baik itu yang terjadi di kerabatnya maupun di komunitasnya. Sehingga mereka memilih hidup mandiri dengan jalur yang lebih harmonis dengan hidup yang lebih slow living atau traditional living," ujar Ahmad kepada detikJatim, Selasa (25/11/2025).

Menurutnya, fenomena ini terjadi karena motif faktor subsisten, yakni keinginan bertahan hidup secara sederhana tanpa harus mengejar keuntungan. Mereka juga punya keterampilan dasar untuk bertahan hidup mulai dari mengolah tanaman lokal hingga memanfaatkan kayu hutan sehingga merasa cukup dan mampu hidup mandiri. Pemerintah perlu mengatasi kondisi ini dengan sudut pandang keluarga yang memutuskan tinggal di hutan.

"Yang perlu dipastikan adalah pemerintah harus memberikan pertimbangan dalam sudut pandang warga yg memutuskan tinggal di hutan. Jadi bukan sudut pandang administrasi desa atau pemerintah pusat. Tetapi sudut pandang yg memang memutuskan tinggal di hutan. Selama itu tidak merugikan lingkungan, orang lain secara legal, kenapa tidak?"," tegasnya.

Selanjutnya pemerintah dan pihak terkait menurutnya juga perlu memastikan kelayakan hidup mereka yang tinggal di hutan. Mulai dari pemerintah yang top-down menjadi bottom-up dengan mempertimbangkan juga kelayakan sumber pangan berkelanjutan baik dari sumber mata air maupun unsur tanah.

"Dan kalau bisa CSR Perhutani maupun program CSR di tengkulak itu yang pendapatannya lebih ya, itu membantu mereka dalam merenovasi tempat tinggal mereka. Entah itu toiletnya, entah itu dapurnya, entah itu atapnya, entah itu dindingnya, sehingga mereka tidak kedinginan di musim hujan," katanya.

Dari fenomena keluarga yang memutuskan tinggal di hutan ini, Ahmad menyimpulkan bahwa mereka ingin hidup sederhana dan jauh dari tekanan standar-standar sosial yang mereka sudah tidak mampu untuk mencapainya



Simak Video "Video: Kehidupan Manusia Hutan di Perbatasan Mojokerto-Jombang"

(dpe/abq)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork