Tiga keluarga manusia hutan yang kini menggantungkan hidup dari menggarap lahan milik Perhutani mengaku tidak selamanya mereka akan berada di sana. Mereka juga tidak berniat menduduki lahan Perhutani itu dan menjadikannya hak milik mereka.
Sakri dan istrinya, Poniyem mengaku enggan menduduki tanah Perhutani untuk rumah. Dia dan istrinya memilih menumpang sementara sampai mampu membangun rumah di desa meski harus hidup dengan berbagai keterbatasan di pedalaman.
"Kalau dikasih (bantuan rumah) mau, tapi kami tidak berharap," ujarnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baik Sakri dan Poniyem, Saelan dan Lamini, maupun Jaini dan Insiati ketiganya bertahan hidup dari bagi hasil Perhutani dengan menggarap palawija bersistem tumpangsari saat musim hujan.
"Hasil panen untuk kami sendiri, cuma bayar bagi hasil ke Perhutani Rp 600.000 per hektare per tahun. Mulai berlaku bagi hasil sekitar 6 tahun lalu," terangnya.
Di musim kemarau, mereka tidak bisa bercocok tanam karena kesulitan air. Sakri, misalnya, pada saat musim kemarau dia harus bekerja serabutan dan mencari kayu bakar untuk dijual.
Permukiman manusia hutan ini terletak di tengah hutan jati yang dijuluki Watuseno. Saat ini, tersisa 3 rumah yang tersamarkan di balik lebatnya hutan jati Perhutani Resort Pemangkuan Hutan (RPH) Lebak Jabung, Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Jabung.
Permukiman ini bisa ditempuh naik motor dengan waktu kurang lebih 15 menit dari Dusun Jabung, Desa Lebakjabung, Mojokerto. Meski cukup lebar, akses ke lokasi itu masih beralaskan bebatuan dan tanah.
Rumah mereka pun jauh dari kata layak huni. Lantainya tanah, dindingnya bambu, dan tanpa plafon. Untuk masak, mandi dan minum, mereka mengambil air dari Sumber Petung dan sungai terdekat. Itu pun airnya tak terlalu jernih.
Sedangkan untuk memenuhi kebutuhan listrik, mereka memiliki sumber panel surya yang diberikan oleh para penghobi olahraga offroad sekitar 2 tahun lalu. Sebelumnya mereka hanya memakai lampu minyak tanah untuk penerangan.
Uniknya, meski hanya 3 rumah dan berdekatan, permukiman manusia hutan ini berada di 2 kabupaten berbeda yang hanya dipisahkan jalan berbatu selebar 2 meter.
Rumah Sakri masuk wilayah administrasi Jombang, tepatnya Desa Sumberjo, Kecamatan Wonosalam. Sedangkan rumah Saelan dan Jaini masuk Desa Lebak Jabung, Jatirejo, Mojokerto.
(dpe/abq)











































