Di tengah gempuran modernitas dan derasnya arus pembangunan, tiga keluarga di perbatasan Mojokerto-Jombang justru memilih hidup di tengah hutan jati.
Dengan akses yang serba terbatas, mereka menjalani keseharian sederhana dari hasil menggarap lahan Perhutani dan air sungai yang tak selalu jernih.
Tiga Keluarga yang Memilih Hidup di Hutan
Tiga keluarga itu adalah Saelan dan Lamini asal Nganjuk, Sakri (60) dan Poniyem (50) asal Desa Sumberjo, Wonosalam, Jombang, serta Jaini dan Insiati asal Nganjuk.
Usia mereka tak lagi muda. Namun, ketiganya memilih tinggal dan bekerja di tengah Hutan Watuseno karena tak memiliki rumah di kampung dan tak ingin merepotkan anak-anak.
Insiati bersama suaminya, Jaini, telah bertahun-tahun hidup di dalam hutan. Mereka memiliki lima anak yang kini tidak ikut tinggal di Watuseno, sebagian sudah menikah, sebagian lain masih sekolah di Nganjuk.
"Di sana (Nganjuk) kami tidak punya apa-apa, orang miskin, tak ada tempat tinggal. Awalnya (tinggal di hutan) mencari rezeki ikut menggarap lahan Perhutani," ujar Insiati kepada detikJatim.
Sementara itu, Sakri telah 10 tahun tinggal di hutan sejak putranya menikah dan pindah ke Desa Pohjejer, Gondang, Mojokerto. Ia mengaku tak memiliki apa-apa di kampung halaman.
"Di Wonosalam saya tak punya apa-apa, istri ada rumah warisan tapi ditinggali adiknya," ungkapnya.
Meski serba terbatas, Sakri dan istrinya enggan menduduki tanah Perhutani untuk membangun rumah permanen.
"Kalau dikasih (bantuan rumah) mau, tapi kami tidak berharap," ujarnya.
Simak Video "Video: Kehidupan Manusia Hutan di Perbatasan Mojokerto-Jombang"
(irb/hil)