Bertahun-tahun 3 keluarga manusia hutan ini hidup di pedalaman yang jauh dari keramaian. Meski hidup berdekatan, mereka ternyata berada di 2 kabupaten berbeda. Ada yang berada di wilayah Mojokerto, ada yang di Jombang.
Ketiga keluarga tersebut adalah pasangan suami istri Saelan dan Lamini asal Nganjuk, Sakri dan Poniyem asal Desa Sumberjo, Wonosalam, Jombang, serta Jaini dan Insiati yang juga berasal dari Nganjuk.
Rumah mereka sebenarnya berdekatan. Mereka juga sering bercengkerama bersama. Namun, Rumah Sakri masuk wilayah Desa Sumberjo, Kecamatan Wonosalam, Jombang sedangkan rumah Saelan dan Jaini masuk Desa Lebak Jabung, Jatirejo, Mojokerto. Batas wilayah itu hanya dipisahkan jalan berbatu selebar 2 meter.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ketua LMDH Mitra Wana Sejahtera Desa Lebakjabung, Achmad Yani menjelaskan 3 keluarga di Hutan Watuseno ikut menggarap lahan Perhutani dengan skema pengelolaan hutan berbasis masyarakat (PHBM) atau perhutanan sosial. Mereka membantu Perhutani menanam, merawat, dan menjaga hutan jati sambil menanam palawija secara tumpang sari.
Begitu pula yang dikerjakan para petani hutan di Desa Lebak Jabung yang tergabung dalam LMDH Mitra Wana Sejahtera. Hanya saja agar 3 KK itu tak lagi hidup di hutan, Yani menyarankan pemerintah menempuh program penyelesaian penguasaan tanah untuk penataan kawasan hutan (PPTPKH).
"Sebaiknya mereka ditarik ke pinggir desa, ada program PPTPKH, ada anggaran permukiman di KLHK. Jadi, status hutannya dihapus, dilimpahkan ke BPN agar diproses menjadi SHM untuk permukiman saja. Sama dengan kami yang bermukim di lahan Perhutani. Syaratnya minimal 5 tahun bermukim di situ. Saya sudah lebih dari 50 tahun," katanya.
Insiati dan suaminya Jaini menceritakan, mereka sudah bertahun-tahun menetap di Hutan Watuseno. Pasutri 5 anak itu mengaku tak punya tempat tinggal di kampung halaman mereka di Nganjuk. Untung saja anak-anak mereka tidak ikut tinggal di hutan karena sebagian sudah menikah, lainnya sekolah di Nganjuk.
"Di sana (Nganjuk) kami tidak punya apa-apa, orang miskin, tak ada tempat tinggal. Awalnya (tinggal di hutan) mencari rezeki ikut menggarap lahan Perhutani," terang Insiati kepada detikJatim di rumahnya, Jumat (21/11).
Sementara Sakri yang sudah 10 tahun hidup di sana memilih tinggal di hutan sejak putranya menikah dan pindah ke Desa Pohjejer, Gondang, Mojokerto.
"Di Wonosalam saya tak punya apa-apa, istri ada rumah warisan tapi ditinggali adiknya," katanya.
Meski hidup sangat terbatas di tengah hutan, Sakri dan istrinya enggan menduduki tanah Perhutani untuk rumah. Ia memilih menumpang sementara sampai mampu membangun rumah di desa.
"Kalau dikasih (bantuan rumah) mau, tapi kami tidak berharap," ujarnya.
Permukiman di tengah hutan jati Watuseno itu kini tersamarkan oleh lebatnya hutan jati Perhutani Resort Pemangkuan Hutan (RPH) Lebak Jabung, Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Jabung.
Permukiman ini bisa ditempuh naik motor dengan waktu kurang lebih 15 menit dari Dusun Jabung, Desa Lebakjabung, Mojokerto. Meski cukup lebar, akses ke lokasi itu masih beralaskan bebatuan dan tanah.
Rumah mereka pun jauh dari kata layak huni. Lantainya tanah, dindingnya bambu, dan tanpa plafon. Untuk masak, mandi, dan minum, mereka mengambil air dari Sumber Petung dan sungai terdekat. Itu pun airnya tak terlalu jernih.
(dpe/abq)











































