Keseharian 3 Keluarga Hidup 10 Tahun di Pedalaman Hutan Mojokerto-Jombang

Round Up

Keseharian 3 Keluarga Hidup 10 Tahun di Pedalaman Hutan Mojokerto-Jombang

Hilda Meilisa Rinanda - detikJatim
Senin, 24 Nov 2025 09:09 WIB
Tiga keluarga manusia hutan yang bertahan hidup di pedalaman Mojokerto-Jombang.
Tiga keluarga manusia hutan yang bertahan hidup di pedalaman Mojokerto-Jombang.(Foto: Enggran Eko Budianto/detikJatim)
Mojokerto -

Di tengah gempuran modernitas dan derasnya arus pembangunan, tiga keluarga di perbatasan Mojokerto-Jombang justru memilih hidup di tengah hutan jati.

Dengan akses yang serba terbatas, mereka menjalani keseharian sederhana dari hasil menggarap lahan Perhutani dan air sungai yang tak selalu jernih.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tiga keluarga manusia hutan yang bertahan hidup di pedalaman Mojokerto-Jombang.Tiga keluarga manusia hutan yang bertahan hidup di pedalaman Mojokerto-Jombang. Foto: Enggran Eko Budianto/detikJatim)

Tiga Keluarga yang Memilih Hidup di Hutan

Tiga keluarga itu adalah Saelan dan Lamini asal Nganjuk, Sakri (60) dan Poniyem (50) asal Desa Sumberjo, Wonosalam, Jombang, serta Jaini dan Insiati asal Nganjuk.

Usia mereka tak lagi muda. Namun, ketiganya memilih tinggal dan bekerja di tengah Hutan Watuseno karena tak memiliki rumah di kampung dan tak ingin merepotkan anak-anak.

ADVERTISEMENT

Insiati bersama suaminya, Jaini, telah bertahun-tahun hidup di dalam hutan. Mereka memiliki lima anak yang kini tidak ikut tinggal di Watuseno, sebagian sudah menikah, sebagian lain masih sekolah di Nganjuk.

"Di sana (Nganjuk) kami tidak punya apa-apa, orang miskin, tak ada tempat tinggal. Awalnya (tinggal di hutan) mencari rezeki ikut menggarap lahan Perhutani," ujar Insiati kepada detikJatim.

Tiga keluarga manusia hutan yang bertahan hidup di pedalaman Mojokerto-Jombang.Tiga keluarga manusia hutan yang bertahan hidup di pedalaman Mojokerto-Jombang. Foto: Enggran Eko Budianto/detikJatim)

Sementara itu, Sakri telah 10 tahun tinggal di hutan sejak putranya menikah dan pindah ke Desa Pohjejer, Gondang, Mojokerto. Ia mengaku tak memiliki apa-apa di kampung halaman.

"Di Wonosalam saya tak punya apa-apa, istri ada rumah warisan tapi ditinggali adiknya," ungkapnya.

Meski serba terbatas, Sakri dan istrinya enggan menduduki tanah Perhutani untuk membangun rumah permanen.

"Kalau dikasih (bantuan rumah) mau, tapi kami tidak berharap," ujarnya.

Tiga keluarga manusia hutan yang bertahan hidup di pedalaman Mojokerto-Jombang.Tiga keluarga manusia hutan yang bertahan hidup di pedalaman Mojokerto-Jombang. Foto: Enggran Eko Budianto/detikJatim)

Hidup di Tengah Hutan yang Terpencil

Permukiman mereka berada di tengah hutan jati Perhutani Resort Pemangkuan Hutan (RPH) Lebak Jabung, BKPH Jabung. Kini hanya ada tiga rumah yang tersamarkan di balik lebatnya pepohonan.

Dari Dusun Jabung, Desa Lebakjabung, Mojokerto, lokasi ini dapat ditempuh sekitar 15 menit dengan sepeda motor. Jalannya cukup lebar tetapi masih berupa tanah dan bebatuan.

Rumah-rumah yang mereka tinggali pun jauh dari kata layak. Lantainya masih berupa tanah, dindingnya bambu, dan tanpa plafon. Untuk kebutuhan memasak, mandi, hingga minum, mereka mengandalkan air dari Sumber Petung dan sungai terdekat yang airnya pun kerap tidak begitu jernih.

Dua tahun terakhir, mereka mendapat bantuan panel surya dari komunitas offroader, sehingga tak lagi bergantung pada lampu minyak tanah seperti sebelumnya.

Kesehariannya Menggarap Lahan dan Menjaga Hutan

Sebagian besar waktu mereka dihabiskan untuk menggarap lahan Perhutani dengan sistem tumpang sari. Di musim hujan, aktivitas ini menjadi berkah karena mereka bisa menanam palawija.

Sakri menyebut musim hujan sebagai masa panen harapan. Selama menggarap lahan Perhutani, ia turut menanam, merawat, dan menjaga hutan jati. Namun saat kemarau, ia dan Poniyem tak bisa bercocok tanam karena kesulitan air. Mereka pun bekerja serabutan, termasuk mencari kayu bakar untuk dijual.

"Hasil panen untuk kami sendiri, cuma bayar bagi hasil ke Perhutani Rp 600.000 per hektare per tahun. Mulai berlaku bagi hasil sekitar 6 tahun lalu," kata Sakri.

Tinggal Dekat, Tapi Berbeda Kabupaten

Meski hanya tiga rumah, permukiman mereka berada di dua kabupaten berbeda, dipisahkan jalan tanah selebar dua meter. Rumah Sakri masuk wilayah Jombang, sementara rumah Saelan dan Jaini berada di Mojokerto.

Ketua LMDH Mitra Wana Sejahtera Desa Lebak Jabung, Achmad Yani, menjelaskan bahwa ketiga keluarga tersebut memang menggarap lahan Perhutani dalam skema Perhutanan Sosial atau PHBM. Mereka membantu menanam, merawat, sekaligus menjaga kawasan hutan.

Namun, Yani berharap pemerintah mempertimbangkan solusi pemukiman bagi mereka agar tak perlu hidup terpencil.

"Sebaiknya mereka ditarik ke pinggir desa, ada program PPTPKH, ada anggaran permukiman di KLHK. Jadi, status hutannya dihapus, dilimpahkan ke BPN agar diproses menjadi SHM untuk permukiman saja. Syaratnya minimal 5 tahun bermukim di situ. Saya sudah lebih dari 50 tahun," cetusnya.

Halaman 3 dari 2


Simak Video "Video: Kehidupan Manusia Hutan di Perbatasan Mojokerto-Jombang"
[Gambas:Video 20detik]
(irb/hil)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads