Potret 3 Keluarga Penghuni Hutan Watuseno di Batas Mojokerto-Jombang

Potret 3 Keluarga Penghuni Hutan Watuseno di Batas Mojokerto-Jombang

Enggran Eko Budianto - detikJatim
Sabtu, 08 Nov 2025 16:30 WIB
Potret 3 Keluarga Penghuni Hutan Watuseno di Batas Mojokerto-Jombang
Potret 3 Keluarga Penghuni Hutan Watuseno di Batas Mojokerto-Jombang Foto: Enggran Eko Budiarto/ detikjatim
Mojokerto -

Perjalanan menuju Gua Anggas Wesi melalui Desa Lebak Jabung, Kecamatan Jatirejo, Kabupaten Mojokerto, membawa pengunjung melewati sebuah permukiman terpencil di tengah hutan. Di tempat sunyi yang dikenal sebagai Hutan Watuseno itu, tiga keluarga memilih bertahan hidup dengan kondisi serba terbatas jauh dari layak.

Permukiman tersebut terletak di tengah hutan jati milik Perhutani Resort Pemangkuan Hutan (RPH) Lebak Jabung, Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Jabung. Kini, hanya tersisa tiga rumah sederhana yang hampir tersembunyi di balik lebatnya pohon jati. Masing-masing dihuni oleh pasangan suami istri: Saelan dan Lamini asal Nganjuk, Sakri (60) dan Poniyem (50) asal Desa Sumberjo, Wonosalam, Jombang, serta Jaini dan Insiati, juga dari Nganjuk.

Permukiman ini berjarak sekitar 15 menit dari Dusun Jabung, Desa Lebak Jabung, jika ditempuh menggunakan sepeda motor. Meski jalurnya cukup lebar, jalan menuju lokasi masih berupa bebatuan dan tanah.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Rumah-rumah di kawasan itu jauh dari kata layak huni. Lantainya masih berupa tanah, dindingnya terbuat dari anyaman bambu, dan tanpa plafon. Untuk kebutuhan memasak, mandi, dan minum, warga mengambil air dari Sumber Petung dan sungai terdekat, meski kualitas airnya kurang jernih. Sementara penerangan mereka peroleh dari panel surya bantuan komunitas offroad sekitar dua tahun lalu. Sebelumnya, mereka hanya mengandalkan lampu minyak tanah.

ADVERTISEMENT
Potret 3 Keluarga Penghuni Hutan Watuseno di Batas Mojokerto-JombangKondisi Rumah di Tengah Hutan Watuseno di Batas Mojokerto-Jombang Foto: Enggran Eko Budiarto/ detikjatim

Sakri mengaku sudah sepuluh tahun tinggal di rumahnya di tengah hutan. Ia berasal dari Desa Carangwulung, Wonosalam, Jombang, sementara istrinya dari Desa Sumberjo, Wonosalam. Kini, keduanya tinggal berdua setelah anak mereka menikah dan pindah ke Desa Pohjejer, Kecamatan Gondang, Mojokerto.

"Di Wonosalam saya tak punya apa-apa. Istri memang punya rumah warisan, tapi sudah ditinggali adiknya," kata Sakri, Jumat (7/11/2025).

Bagi Sakri, musim hujan merupakan berkah karena ia bisa menanam palawija di lahan Perhutani dengan sistem tumpang sari. Ia juga membantu menanam, merawat, dan menjaga hutan jati. Saat musim kemarau tiba, aktivitas bertani berhenti karena kekurangan air, sehingga ia bekerja serabutan dan mencari kayu bakar untuk dijual.

"Hasil panen untuk kami sendiri, cuma bayar bagi hasil ke Perhutani Rp600 ribu per hektare per tahun. Mulai berlaku sekitar enam tahun lalu," ujarnya.

Meski hidup sederhana, Sakri dan istrinya menolak mengklaim lahan Perhutani sebagai milik pribadi. Mereka memilih menumpang sementara hingga mampu membangun rumah di desa.

"Kalau dikasih (bantuan rumah) mau, tapi kami tidak berharap," ujarnya.

Potret 3 Keluarga Penghuni Hutan Watuseno di Batas Mojokerto-JombangKondisi di dalam rumah warga penghuni hutan Watuseno di batas Mojokerto-Jombang Foto: Enggran Eko Budiarto/ detikjatim

Uniknya, meski hanya terdiri dari tiga rumah, permukiman ini berada di dua kabupaten berbeda yang dipisahkan oleh jalan berbatu selebar dua meter. Rumah Sakri masuk wilayah administrasi Desa Sumberjo, Kecamatan Wonosalam, Jombang, sedangkan rumah Saelan dan Jaini termasuk Desa Lebak Jabung, Kecamatan Jatirejo, Mojokerto.

Insiati dan suaminya, Jaini, juga sudah bertahun-tahun tinggal di tengah Hutan Watuseno. Pasangan dengan lima anak ini mengaku tidak memiliki tempat tinggal di kampung halaman. Beruntung, anak-anak mereka tidak ikut tinggal di hutan karena sebagian sudah menikah dan sebagian lainnya bersekolah di Nganjuk.

"Di sana kami tidak punya apa-apa, orang miskin, tak ada tempat tinggal. Awalnya tinggal di hutan untuk mencari rezeki ikut menggarap lahan Perhutani," terang Insiati.

Ketua LMDH Mitra Wana Sejahtera Desa Lebak Jabung, Achmad Yani, menjelaskan bahwa tiga keluarga tersebut ikut menggarap lahan Perhutani melalui skema Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) atau perhutanan sosial. Mereka membantu menanam, merawat, dan menjaga hutan jati sambil menanam palawija secara tumpang sari.

Yani menyarankan agar pemerintah membantu mereka keluar dari kehidupan di tengah hutan melalui program Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan (PPTPKH).

"Sebaiknya mereka ditarik ke pinggir desa. Ada program PPTPKH dengan anggaran permukiman dari KLHK. Status hutannya bisa dihapus lalu dilimpahkan ke BPN agar diproses menjadi SHM permukiman, sama seperti kami yang juga bermukim di lahan Perhutani. Syaratnya minimal lima tahun bermukim di situ. Saya sendiri sudah lebih dari 50 tahun," ujarnya.

Potret 3 Keluarga Penghuni Hutan Watuseno di Batas Mojokerto-JombangSumber penerangan Keluarga Penghuni Hutan Watuseno di Batas Mojokerto-Jombang Foto: Enggran Eko Budiarto/ detikjatim

Kepala Dusun Jabung, Irwandi, menuturkan bahwa tiga keluarga penghuni Hutan Watuseno masih sering berinteraksi dengan warga desa, meski rumah mereka jauh di tengah hutan. Mereka aktif ikut kerja bakti, menghadiri pengajian, dan berbelanja kebutuhan sehari-hari di kampung.

"Sepertinya mereka ketinggalan saat pengusulan PPTPKH. Ketentuannya lima tahun ke atas tinggal di situ. Kalau sekarang sudah semua memenuhi syarat itu," jelasnya.

Kepala BKPH Jabung, Tarmidi, menambahkan bahwa dulunya permukiman di Hutan Watuseno dihuni banyak keluarga. Namun, seiring waktu, jumlahnya terus berkurang.

"Saat saya mulai bertugas di awal 2024, masih ada 11 kepala keluarga. Sekarang tinggal tiga," katanya.

Ketiga keluarga itu, lanjut Tarmidi, tetap menjadi bagian dari LMDH Mitra Wana Sejahtera, meski berstatus sebagai anggota luar biasa karena berasal dari luar Desa Lebak Jabung.

"Keberadaan mereka membantu kami karena selalu melapor jika ada pencurian kayu. Alhamdulillah, sekarang kondusif, pencurian tidak ada," ungkapnya.

Saat ini, LMDH Mitra Wana Sejahtera yang bermitra dengan Perhutani memiliki lebih dari 200 petani penggarap yang mengelola lahan seluas 591 hektare di wilayah BKPH Jabung. Total luas wilayah BKPH Jabung mencapai 984,2 hektare, meliputi RPH Carangwulung, Kedunglumpang, Lebak Jabung, dan Sumberjo.

Ratusan petani itu bekerja sama dengan Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Jombang dalam menanam palawija secara tumpang sari.

"Bagi hasilnya bukan Rp600 ribu per hektare per tahun, tapi 20% dari hasil panen diserahkan kepada Perhutani," jelas Tarmidi.

Potret 3 Keluarga Penghuni Hutan Watuseno di Batas Mojokerto-JombangHutan Watuseno di Batas Mojokerto-Jombang Foto: Enggran Eko Budiarto/ detikjatim

"Setahun mereka hanya bisa menanam sekali, tapi dua jenis tanaman sekaligus seperti jagung dan ketela. Kami hanya memperbolehkan tanaman palawija, kecuali tebu. Di wilayah Jabung kami melarang penanaman tebu baru," tambahnya.

Tarmidi menegaskan, para petani hutan juga berhak menerima bagi hasil dari panen pohon jati.

"Jati masa daurnya 40-60 tahun. Kalau Perhutani surplus dari panen jati, bagi hasilnya tetap diberikan kepada LMDH yang bermitra, karena seluruh petani penggarap berada di bawah naungan LMDH," tandasnya.




(ihc/abq)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads