Reaksi Alumnus Unair Soal Usulan Soeharto Pahlawan Nasional

Faiq Azmi - detikJatim
Sabtu, 08 Nov 2025 20:30 WIB
Teguh Prihandoko, Ketua Jaringan Ksatria Airlangga. (Foto: Istimewa)
Surabaya -

Rencana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto memunculkan pro dan kontra. Salah satu tanggapan kontra datang dari seorang alumnus Universitas Airlangga (Unair) yang tergabung dalam Jaringan Ksatria Airlangga (JAKA).

Ketua JAKA, Teguh Prihandoko menyebutkan bahwa era ketika Soeharto memimpin Indonesia adalah masa kelam pelanggaran HAM dan otoritarianisme.

"Soeharto memimpin pemerintahan yang ditandai dengan pelanggaran hak asasi manusia yang sistematis. Peristiwa 1965-1966, kasus Tanjung Priok dan Lampung, Marsinah, Penculikan aktivis prodemokrasi 1997-1998, penembakan mahasiswa Trisakti dan kerusuhan Mei, serta pembungkaman terhadap kebebasan berekspresi dan berserikat adalah catatan kelam yang belum pernah dipertanggungjawabkan secara hukum maupun moral," kata Teguh dalam keterangannya, Sabtu (8/11/2025).

"Pemberian gelar pahlawan kepada sosok yang berkaitan dengan rentetan kekerasan politik berarti melukai ingatan keluarga para korban dan mengabaikan prinsip keadilan sejarah," tambahnya.

Menurut Teguh, di era Soeharto terjadi praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang terstruktur. Bahkan ia menyebut era kepemimpinan Soeharto menjadi simbol KKN yang mengakar dalam struktur birokrasi.

"Berbagai lembaga internasional, laporan kajian ekonomi, serta proses hukum pasca kejatuhannya menunjukkan bahwa praktik korupsi tersebut mengakibatkan kerugian negara dalam skala luar biasa besar, menurunkan kualitas demokrasi, dan memperlebar jurang kemiskinan," bebernya.

"Mengangkat tokoh yang identik dengan KKN sebagai pahlawan berarti memberikan legitimasi moral terhadap praktik korupsi, sesuatu yang bertentangan dengan nilai Pancasila dan cita-cita reformasi," lanjutnya.

Teguh menilai gelar pahlawan bukan sekadar penghargaan individual melainkan instrumen pendidikan historis bagi generasi bangsa. Baginya, memberikan gelar pahlawan kepada Soeharto sama saja dengan menyampaikan pesan keliru kepada anak muda bahwa kekuasaan yang KKN dan sarat dengan praktek-praktek yang melanggar HAM bisa ditolerir.

"Kami menolak sejarah dipelintir demi kepentingan politik jangka pendek," tambahnya.

Dengan tidak memberi gelar pahlawan ke Soeharto, Teguh menilai pemerintah telah menjaga marwah reformasi dan demokrasi.

"Bangsa ini telah membayar mahal biaya transisi menuju demokrasi. Reformasi 1998 bukan peristiwa biasa, itu adalah puncak perjuangan rakyat untuk menuntut akhir dari kekuasaan yang korup dan memulihkan martabat warga negara. Mengangkat Soeharto sebagai pahlawan berarti mengkhianati semangat reformasi, melemahkan perjuangan mahasiswa dan rakyat, serta membuka jalan normalisasi otoritarianisme," tegasnya.

"JAKA menolak rencana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto. Mendesak Pemerintah dan Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Kehormatan untuk mempertimbangkan secara objektif jejak pelanggaran HAM dan korupsi yang terjadi pada masa kepemimpinannya. Kami mengajak masyarakat, akademisi, dan seluruh alumni UNAIR untuk bersuara dalam menjaga integritas sejarah dan nilai kemanusiaan. Kita menolak glorifikasi pelanggaran moral dan kemanusiaan, sejarah harus menjadi pelajaran, bukan alat pembenaran," tandasnya.



Simak Video "Video: Lintas Aktivis Tolak Usulan Soeharto Jadi Pahlawan Nasional"

(dpe/abq)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork