Perayaan Halloween yang seharusnya menjadi malam penuh keceriaan berubah menjadi tragedi kelam di distrik Itaewon, Seoul, Korea Selatan. Pada Sabtu malam, 29 Oktober 2022, ribuan warga dan turis memadati kawasan hiburan terkenal itu untuk merayakan Halloween pertama setelah pembatasan COVID-19 dicabut.
Namun, suasana pesta mendadak berubah menjadi kepanikan massal ketika kerumunan di gang sempit tak lagi terkendali, menyebabkan ratusan orang terinjak, sesak napas, hingga kehilangan nyawa.
Tragedi yang kini dikenal sebagai Itaewon Halloween Disaster tersebut menewaskan lebih dari seratus orang, kebanyakan anak muda, dan melukai ratusan lainnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam hitungan menit, malam yang penuh lampu warna-warni berubah menjadi lautan tangis, sirine ambulans, dan upaya penyelamatan darurat. Peristiwa memilukan ini menjadi duka mendalam bagi Korea Selatan sekaligus pelajaran penting tentang pentingnya keselamatan dalam setiap keramaian besar.
Kronologi Tragedi Halloween di Itaewon
Dilansir dari detikNews, menurut laporan Reuters dan berbagai media internasional, tragedi bermula sekitar pukul 22.20 waktu setempat. Ribuan pengunjung yang datang untuk merayakan Halloween di Itaewon memenuhi jalan dan gang-gang sempit di sekitar stasiun Itaewon.
Suasana kian padat ketika lebih banyak orang berusaha masuk ke area pesta. Kepadatan ekstrem ini menyebabkan sebagian orang kehilangan keseimbangan dan terjatuh, memicu efek domino yang membuat ratusan lainnya terinjak dan terjebak tanpa ruang untuk bergerak.
Saksi mata bernama Moon Ju-young (21) menggambarkan situasi di lapangan sebagai "sepuluh kali lebih ramai dari biasanya". Polisi dan petugas darurat yang berada di lokasi pun kewalahan mengendalikan massa. Dalam waktu singkat, laporan tentang orang-orang yang mengalami henti jantung mulai bermunculan.
Penyebab Tragedi Itaewon dan Kesaksian Warga
Penyebab utama tragedi diduga akibat cardiac arrest atau henti jantung yang terjadi massal karena tekanan ekstrem di tengah kerumunan. Sejumlah warga dan petugas medis segera melakukan CPR (bantuan pernapasan) di lokasi, namun banyak korban yang sudah tidak tertolong.
Beberapa saksi juga menyebut adanya kericuhan di antara peserta pesta sebelum kejadian. Sebagian bahkan menduga beberapa orang menggunakan narkoba di tengah kerumunan.
"Kami datang sekitar jam 10 malam dan melihat orang-orang jatuh di mana-mana. Suasananya seperti di film perang, semua panik dan petugas berusaha melakukan CPR di berbagai titik," kata Park Jung-hoon (21) kepada Reuters.
Pihak berwenang hingga kini terus melakukan penyelidikan untuk memastikan penyebab pasti tragedi, termasuk kemungkinan kelalaian dalam pengaturan keamanan dan manajemen kerumunan.
Tragedi Itaewon menewaskan sedikitnya 151 orang dan melukai lebih dari 80 orang lainnya. Sebagian besar korban adalah remaja dan dewasa muda berusia antara 17 hingga 30 tahun. Banyak dari mereka datang mengenakan kostum Halloween, tanpa menyangka pesta tersebut akan berakhir menjadi bencana nasional.
Selain korban tewas dan luka-luka, sebanyak 355 laporan orang hilang diterima oleh Markas Besar Penanggulangan Bencana dan Keselamatan Kota Seoul. Sebagian besar laporan datang dari keluarga yang kehilangan kontak dengan anggota keluarganya sejak malam tragedi.
Presiden Korea Selatan Yoon Suk Yeol langsung mengadakan rapat darurat pada Minggu dini hari (30/10/2022). Dalam pernyataannya, Presiden Yoon menyampaikan belasungkawa mendalam kepada para korban dan mengumumkan masa berkabung nasional.
Ia juga berjanji bahwa pemerintah akan memusatkan seluruh upaya untuk pemulihan dan penyelidikan menyeluruh terhadap penyebab insiden tersebut.
"Tragedi ini seharusnya tidak pernah terjadi di jantung Kota Seoul," ujarnya.
"Hati saya hancur untuk para korban dan keluarga yang kehilangan orang tercinta." Pemerintah juga memerintahkan evaluasi besar-besaran terhadap sistem pengamanan acara publik agar kejadian serupa tidak terulang di masa mendatang.
Tiga Tahun Setelah Tragedi Itaewon
Tiga tahun setelah tragedi Halloween Itaewon, luka duka itu belum benar-benar sembuh. Dilansir dari Korean Times, untuk pertama kalinya sejak peristiwa nahas tersebut, keluarga korban dari berbagai negara kembali berkumpul di Seoul pada Selasa, 29 Oktober 2025, untuk mengenang para korban dan menuntut keadilan.
Sebanyak 36 anggota keluarga dari 10 negara menghadiri upacara peringatan di pusat kota Seoul. Mereka datang membawa pesan yang sama: menuntut kebenaran, akuntabilitas, dan penerapan standar keselamatan yang lebih kuat agar tragedi serupa tidak terulang lagi. Dari total 159 korban jiwa, tercatat 26 di antaranya merupakan warga negara asing.
Sebagian besar korban merupakan mahasiswa atau wisatawan berusia 20-30 tahun yang datang ke Korea untuk belajar atau merasakan budaya negeri Ginseng. Mereka dikenal penuh semangat, optimistis, dan mempercayai bahwa Korea adalah tempat yang aman.
Koalisi keluarga korban menyebutkan bahwa 46 anggota keluarga dari 21 korban asing diundang pemerintah Korea untuk menghadiri peringatan ini. Mereka datang dari 12 negara, termasuk Iran, Rusia, Amerika Serikat, Australia, China, Jepang, Prancis, Austria, Norwegia, Sri Lanka, Kazakhstan, dan Uzbekistan.
Namun, seperti halnya keluarga korban asal Korea, mereka juga mempertanyakan mengapa hingga tiga tahun berlalu belum ada pihak yang benar-benar dimintai pertanggungjawaban.
Beberapa keluarga bahkan mengaku mengetahui kabar kematian anggota keluarganya dari berita atau teman, bukan dari otoritas resmi. Mereka menilai kurangnya kontrol kerumunan dan minimnya dukungan pascabencana menjadi bukti lemahnya kesiapsiagaan pemerintah dalam menghadapi situasi darurat publik.
Peringatan tiga tahun tragedi Itaewon menjadi momen reflektif bagi Korea Selatan dan dunia. Tragedi ini membuka mata banyak pihak tentang pentingnya perencanaan dan pengawasan yang matang terhadap acara publik berskala besar.
Dari keluarga korban hingga masyarakat luas, harapannya hanya agar tidak ada lagi nyawa muda yang melayang karena kelalaian dan kurangnya antisipasi.
(ihc/hil)











































