Mahasiswi berinisial SF (21) asal Jember melaporkan pemerkosaan dan penganiayaan yang dilakukan oleh tetangganya sendiri, SA, pada Rabu (14/10/2025) dini hari. Alih-alih mendapat dukungan dari Pemerintah Desa. Korban justru diminta Kepala Desa untuk menikah dengan pelaku.
Ia mengaku sempat berteriak dan berusaha melawan. Namun, pelaku justru memukul dan mencekik hingga menimbulkan lebam di wajah dan lengan korban. Kejadian ini tentu akan menimbulkan luka psikis dan menimbulkan trauma pada korban.
Psikolog Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Atikah Dian Ariana M.Sc., M.Psi, menyebut dampak yang ditimbulkan dari kasus tersebut tidak bisa dianggap remeh. Sebab, trauma yang ditimbulkan rentan membawa korban pelecehan mengalami depresi hingga bunuh diri.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Justru ketika korban pelecehan itu menikah dengan pelaku akan membangkitkan rasa trauma. Karena perasaan ketidakberdayaan ketika dilecehkan dan ketika mencoba mencari dukungan, justru yang diperoleh adalah paksaan untuk menikah dengan sumber trauma," kata Atikah kepada detikJatim, Selasa (28/10/2025).
Atikah juga menegaskan bahwa pelaku pelecehan yang hanya dihukum dengan menikahi korban, justru akan menimbulkan risiko pengulangan kekerasan. Tentu, hal ini sangat tidak direkomendasikan.
"Bisa jadi ada dendam yang belum terselesaikan dari kekerasan seksual itu. Selain itu, ketika membicarakan pernikahan, kan, itu berarti komitmen atas dasar kasih sayang antara dua pihak. Apabila pernikahan dipaksakan akan menimbulkan emosi negatif, sehingga pondasinya tidak akan kuat. Risiko umumnya perceraian, risiko lainnya bisa depresi hingga bunuh diri," ujar Atikah.
Pemulihan trauma korban pelecehan juga tidak mudah disembuhkan. Terlebih ketika stigma umum masyarakat yang berkembang seringkali menyebut korban adalah pemicu pelecehan. Hal ini justru memperburuk kondisi trauma bagi korban.
"Semua itu bisa dipulihkan, tetapi kalau trauma itu kuat perlu bantuan profesional. Yang bisa dilakukan saat ini adalah memberi dukungan yang bersifat suportif, bukan menghakimi. Support sistem di lingkungan terdekat itu menjadi kunci. Selebihnya, bisa dengan relaksasi, menulis jurnal," terang Atikah.
Namun, Atikah menyebut pemulihan trauma yang cukup sulit adalah ketika berupaya menetralisir sebuah pemicu. Ia memberi contoh ketika seseorang trauma pada suatu barang atau warna tertentu. Hal ini karena ingatan buruk disebabkan pelaku.
"Ketika hal netral itu bisa memicu. Misal dia saat itu memakai baju warna biru, itu kan netral, tetapi karena trauma, bisa saja ketakutan itu ia alihkan pada warna. Proses pemulihan trauma itu sebenarnya mengembalikan kondisi netral menjadi netral, membuat subjek atau korban bisa menerima emosi-emosi dan mempunyai cara yang efektif untuk menyembuhkan ketegangan yang dirasakan. Proses ini membutuhkan bantuan professional, tidak bisa dilakukan mandiri," tambah Atikah.
Pakar Psikologi itu juga menyebut bahwa sebenarnya korban pelecehan tidak memandang gender. Baik laki-laki maupun perempuan sama-sama memiliki risiko dilecehkan. Namun, pelecehan yang cenderung menjadikan perempuan sebagai korban sangat dekat dengan konsep patriarki. Kondisi sosial inilah yang mendorong masyarakat lebih memaklumi lelaki dibanding sebaliknya.
"Kadang-kadang kekerasan seksual yang dilakukan di rumah tangga menjadi sesuatu yang wajar dan konteks sosial budaya mempengaruhi korban banyak terjadi pada perempuan," terang Atikah.
Setidaknya ada dua hal yang menjadi alasan mengapa korban pelecehan seksual tidak mendapat perlindungan yang layak dan aman:
1. Butuh bukti dan saksi
Korban pelecehan seksual terkadang cukup sulit dibuktikan. Hal ini terkait dengan sistem yang mengharuskan tindak kejahatan butuh saksi dan bukti. Sehingga korban pelecehan jarang mendapat perlindungan yang layak.
2. Kontak sosial
Atikah menyebut terdapat teori victimology yang menyatakan bahwa korban pelecehan memiliki karakteristik khas yang menjadi pemicu pelecehan. Meski begitu, ia menegaskan bahwa hal ini harus dibuktikan.
"Sebagian orang punya stigma pelecehan itu terjadi karena gestur terlalu menggoda, pakaian mini, tetapi itu tidak bisa dijadikan menjadi alasan bahwa seorang layak menjadi korban pelecehan. Sebuah riset juga membuktikan lebih banyak korban pelecehan seksual itu dari justru korbannya pakaian lengkap, gestur, bahasa (tutur kata) sopan. Sehingga tidak cukup kuat menjadikan alasan dia layak menjadi korban pelecehan," pungkas Atikah.
(auh/abq)











































