KH Hasyim Asy'ari, Guru Para Pejuang dan Pelita Santri Sepanjang Zaman

Fadya Majida Az-Zahra - detikJatim
Selasa, 21 Okt 2025 14:30 WIB
Pendiri NU KH Hasyim Asy'ari. Foto: Edi Wahyono/detikcom
Surabaya -

Di tengah arus perubahan zaman dan derasnya modernisasi, nama KH Hasyim Asy'ari tetap bersinar sebagai sosok ulama besar yang tak hanya menjadi pelita bagi santri, tetapi juga guru bagi para pejuang bangsa.

Dikenal dengan sebutan Hadratussyaikh, gelar kehormatan bagi ulama yang sangat dihormati, KH Hasyim Asy'ari adalah pendiri Nahdlatul Ulama (NU), organisasi Islam terbesar di Indonesia, sekaligus tokoh kunci dalam membangkitkan semangat keagamaan dan kebangsaan di masa perjuangan melawan penjajah.

Biografi Singkat KH Hasyim Asy'ari

Pada abad ke-19, wilayah Jombang telah dikenal sebagai salah satu pusat pendidikan Islam tradisional penting di Nusantara. Di daerah ini berdiri banyak pondok pesantren yang melahirkan ulama-ulama besar dan menjadi sumber penyebaran ilmu keislaman di Jawa Timur.

Dua pesantren yang berperan dalam masa kecil KH Hasyim Asy'ari adalah Pondok Pesantren Nggedang dan Pondok Pesantren Keras. Pesantren Nggedang di Dukuh Nggedang, Desa Tambakrejo, didirikan Kiai Usman, ulama disegani karena keluasan ilmu dan ketokohannya dalam membentuk santri menjadi kiai berpengaruh.

Di lingkungan pesantren tradisional, hubungan antara kiai dan santri bukan sekadar relasi guru dan murid, tetapi ikatan spiritual yang berlangsung seumur hidup. Dalam suasana pesantren yang sarat nilai keikhlasan dan pengabdian itulah Asy'ari, ayah KH Hasyim Asy'ari, menuntut ilmu.

Ketekunan Asy'ari membuat Kiai Usman mempercayainya sebagai guru pengganti (badal). Hubungan keduanya semakin erat ketika Asy'ari menikah dengan putri Kiai Usman, Nyai Halimah atau Winih.

Dari pernikahan itu lahirlah Muhammad Hasyim Asy'ari pada 14 Februari 1871 di Pondok Pesantren Nggedang. Hasyim kecil diasuh kakek dan neneknya selama lima tahun pertama, menyerap nilai kesederhanaan, kerja keras, dan cinta ilmu.

Ketika Kiai Asy'ari memperoleh izin untuk mendirikan pesantren sendiri di Desa Keras, Jombang, keluarganya pun pindah ke sana. Di pesantren baru inilah Hasyim muda mulai belajar langsung kepada ayahnya.

Sejak kecil, kecerdasannya sudah menonjol, ia tekun, cepat memahami pelajaran, dan gemar membaca kitab tambahan di luar kurikulum. Pada usia 13 tahun, ia bahkan sudah mampu mengajar kitab kuning kepada santri lain.

Di kalangan teman-temannya, Hasyim dikenal bijak dan berjiwa pemimpin. Ia kerap menengahi perselisihan dengan tenang dan adil, sifat yang kelak membentuk karakter kepemimpinannya sebagai ulama dan pendiri NU.

Pendidikan Hasyim berlanjut ke berbagai pesantren ternama di Jawa, hingga akhirnya ia menimba ilmu ke Makkah selama bertahun-tahun. Di Tanah Suci, ia memperdalam hadis, tafsir, fikih, dan tasawuf.

Ia juga berinteraksi dengan ulama dari berbagai negara. Pengalaman itu membentuk pandangan universalnya terhadap Islam rahmatan lil 'alamin-Islam yang penuh kasih dan membawa kedamaian bagi semesta.

Pendiri Pondok Pesantren Tebuireng

Setelah kembali ke Tanah Air, KH Hasyim Asy'ari mendirikan Pondok Pesantren Tebuireng di Jombang pada tahun 1899. Pesantren ini menjadi pusat pembelajaran Islam yang menekankan keseimbangan antara ilmu pengetahuan, akhlak, dan semangat perjuangan.

Di bawah asuhan KH Hasyim Asy'ari, Tebuireng berkembang menjadi pesantren pembaharu dalam dunia pendidikan Islam tradisional. Dari pesantren ini lahir banyak ulama besar dan tokoh bangsa, di antaranya KH Wahid Hasyim, KH Yusuf Hasyim, hingga KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur).

Pada masa itu, setiap pesantren di Jawa memiliki spesialisasi ilmu. Pesantren Termas di Pacitan dikenal unggul dalam ilmu alat (nahwu dan sharaf), Jampes di Kediri menjadi pusat kajian tasawuf, sementara Tebuireng menonjol dalam kajian hadis.

Tradisi keilmuan ini melahirkan mobilitas tinggi di kalangan santri. Jadi, mereka bisa berpindah dari satu pesantren ke pesantren lain untuk memperdalam cabang-cabang ilmu agama.

Nilai-nilai pesantren yang menekankan disiplin spiritual, adab, dan keikhlasan telah tertanam kuat dalam diri KH Hasyim Asy'ari sejak muda. Hidup di lingkungan pondok membuatnya terbiasa dengan kesederhanaan, gotong royong, dan semangat menuntut ilmu demi kemaslahatan umat.

Lingkungan pesantren yang menanamkan nilai ukhrawi dan moral inilah yang menjadi fondasi pemikiran KH Hasyim Asy'ari dalam merumuskan ajaran jihad ilmu dan kebangsaan. Dari keluarga dan pesantren tempat ia tumbuh, lahir ulama besar yang bukan hanya pendidik dan pembaru Islam, tetapi peletak dasar perjuangan.

Kelahiran Nahdlatul Ulama

NU lahir pada 1926, sebagai tonggak kebangkitan Islam tradisional di Indonesia yang dipelopori KH Hasyim Asy'ari. Pada masa itu, umat Islam di Hindia Belanda dihadapkan dua tantangan besar, penjajahan yang menindas kehidupan sosial-keagamaan, dan gerakan reformis yang berupaya menghapus tradisi keislaman lokal.

Berangkat dari kegelisahan ini, KH Hasyim Asy'ari berupaya meneguhkan kembali ajaran Ahlussunnah wal Jama'ah (Aswaja) sebagai landasan utama umat Islam Nusantara.

Pendidikan di berbagai pesantren dan pengalamannya menuntut ilmu di Makkah memperkuat pandangannya bahwa Islam harus dijaga dalam keseimbangan antara syariat, budaya, dan realitas sosial masyarakat.

Gagasan pendirian NU bermula dari kesadaran akan perlunya wadah resmi bagi para ulama pesantren agar dapat menjaga kemurnian ajaran Islam sekaligus melindungi kepentingan umat dari tekanan kolonial.

Setelah serangkaian musyawarah antara para kiai besar di Jawa dan Madura, KH Hasyim Asy'ari bersama tokoh-tokoh seperti KH Wahab Hasbullah dan KH Bisri Syansuri akhirnya mendirikan Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) di Surabaya.

Organisasi ini tidak hanya berperan dalam bidang keagamaan, tetapi juga sosial, pendidikan, dan kebangsaan. Tujuan utamanya meliputi pelestarian ajaran Aswaja, penguatan jaringan pesantren sebagai pusat pendidikan rakyat, serta pembelaan terhadap martabat bangsa dan agama dalam konteks kolonialisme Belanda.

Sebagai Rais Akbar pertama NU, KH Hasyim Asy'ari berperan penting dalam membentuk arah ideologis dan spiritual organisasi. Ia menulis sejumlah karya, seperti Adab al-'Alim wa al-Muta'allim, yang menegaskan pentingnya etika dan keikhlasan dalam proses belajar-mengajar di pesantren.

Dalam bidang kebangsaan, kiprahnya mencapai puncak melalui Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945, yang menyerukan kewajiban umat Islam mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari ancaman penjajahan. Seruan ini memicu semangat perjuangan rakyat Surabaya dan menjadi landasan moral bagi perlawanan nasional.

Kebangkitan NU di bawah kepemimpinan KH Hasyim Asy'ari menjadi simbol resistensi kultural dan spiritual terhadap dominasi asing sekaligus penjaga jati diri Islam Nusantara. Dengan prinsip tawassuth (moderat), tawazun (seimbang), tasamuh (toleran), dan i'tidal (adil), NU berhasil membangun wajah Islam yang ramah, berakar pada budaya lokal, serta terbuka terhadap perubahan zaman.

Warisan pemikiran dan perjuangan KH Hasyim Asy'ari menegaskan bahwa Islam bukan hanya soal ibadah, tetapi juga perjuangan membangun masyarakat yang berilmu, beradab, dan berdaulat.

Warisan Intelektual dan Kebangsaan

Peran besar KH Hasyim Asy'ari semakin tampak menjelang dan setelah proklamasi kemerdekaan. Saat bangsa ini berada diambang ancaman kembalinya penjajahan, ia mengeluarkan Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945.

Fatwa tersebut menyerukan kepada seluruh umat Islam, terutama para santri, untuk berjuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia sebagai bagian dari kewajiban agama. Seruan jihad ini kemudian menjadi pemicu pertempuran 10 November di Surabaya, yang kini diperingati sebagai Hari Pahlawan.

Bagi KH Hasyim Asy'ari, perjuangan membela tanah air adalah bentuk nyata dari jihad fi sabilillah, bukan sekadar perang bersenjata, melainkan perjuangan menjaga ilmu, akhlak, dan kehormatan bangsa. Dalam pandangannya, cinta tanah air adalah bagian dari iman (hubbul wathan minal iman), sebuah prinsip yang hingga kini menjadi dasar ideologi kebangsaan kaum santri.

Selain dikenal sebagai pejuang kemerdekaan, KH Hasyim Asy'ari juga seorang pendidik sejati. Ia menanamkan pentingnya adab sebelum ilmu, dan menulis banyak karya monumental.

Di antara karya-karyanya, yaitu Adab al-'Alim wa al-Muta'allim, yang menegaskan etika hubungan antara guru dan murid dalam menuntut ilmu. Melalui ajarannya, beliau mengajarkan bahwa kecerdasan tanpa akhlak akan kehilangan arah, dan ilmu tanpa niat lillahi ta'ala hanyalah kesia-siaan.

Warisan spiritual dan intelektual KH Hasyim Asy'ari terus hidup hingga kini. Tebuireng menjadi simbol perlawanan moral dan intelektual, sedangkan NU tumbuh sebagai benteng Islam moderat yang menjunjung tinggi nilai toleransi dan kebangsaan.

Lebih dari seabad setelah kelahirannya, sosok KH Hasyim Asy'ari tetap menjadi sumber inspirasi. Ia bukan hanya milik kaum santri, tetapi milik seluruh bangsa, seorang ulama yang menjadikan pena dan pesantren sebagai senjata, serta menjadikan iman dan ilmu sebagai cahaya yang menuntun jalan perjuangan bangsa.

Artikel ini ditulis Fadya Majida Az-Zahra, peserta magang PRIMA Kemenag di detikcom.



Simak Video "Video: Dapat Bisikan Ketua PWNU, Pramono Bakal Tempatkan Kader NU di BUMD"

(irb/hil)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork