Jejak Pemuda Jawa Timur di Balik Lahir Sumpah Pemuda

Fadya Majida Az-Zahra - detikJatim
Senin, 20 Okt 2025 12:30 WIB
POSTER SUMPAH PEMUDA. Foto: Freepik
Surabaya -

Sumpah Pemuda yang diikrarkan pada 28 Oktober 1928 di Batavia (kini Jakarta) merupakan tonggak bersejarah bersatunya bangsa Indonesia. Di balik semangat "Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa" tersebut, terdapat kontribusi besar dari pemuda-pemuda yang berasal dari Jawa Timur.

Mereka memiliki peran sentral dalam kepanitiaan Kongres Pemuda II, memastikan ikrar persatuan itu terwujud. Dilansir dari Kemendikdasmen, setidaknya ada tiga tokoh kunci yang berasal atau memiliki akar kuat di Jawa Timur berperan strategis dalam menyukseskan kongres bersejarah tersebut.

Tokoh Sumpah Pemuda dari Jawa Timur

Sumpah Pemuda menjadi tonggak penting dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Di balik momentum bersejarah itu, ada sejumlah tokoh asal Jawa Timur yang turut berperan besar dalam merumuskan semangat persatuan pemuda Indonesia.

1. Soegondo Djojopoespito

Dilansir dari jurnal berjudul "Sumpah Pemuda: Dalam Rangka Pembentukan Karakter Pemuda Dimasa Kini dan Masa Depan," oleh Santoso dkk, 2023, Soegondo Djojopuspito lahir pada 22 Februari 1904 di Kabupaten Tuban.

Sejak kecil, ia dikenal tekun dan memiliki semangat kebangsaan yang tinggi. Pendidikan dasarnya ditempuh di Hollandsch-Inlandsche School (HIS) pada tahun 1911 hingga 1918, kemudian melanjutkan ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) hingga tahun 1921.

Pada masa mudanya di Surabaya, Soegondo sempat tinggal di pondokan H.O.S. Tjokroaminoto. Dari tokoh besar pergerakan itu, ia banyak belajar tentang nasionalisme dan pentingnya persatuan bangsa.

Setelah itu, ia melanjutkan pendidikan menengahnya di Algemeene Middelbare School (AMS), dan pada tahun 1924 masuk ke Recht Hogeschool (RHS) di Batavia untuk mempelajari hukum. Masa studinya di Batavia menjadi titik awal keterlibatan Soegondo dalam dunia pergerakan nasional.

Ia dikenal aktif dalam berbagai organisasi pemuda. Ia dikenal aktif dalam berbagai organisasi pemuda, salah satunya Perhimpunan Pelajar-pelajar Indonesia (PPPI), yang menjadi inisiator utama penyelenggaraan Kongres Pemuda II.

Soegondo menjadi figur penting yang menyatukan semangat kebangsaan lintas daerah dan suku. Namanya kemudian dikenal luas ketika memimpin Kongres Pemuda II tahun 1928, yang melahirkan ikrar bersejarah Sumpah Pemuda, tonggak persatuan bangsa Indonesia.

Setelah kongres, Soegondo tetap konsisten berkiprah di dunia pendidikan dan sosial. Pada tahun 1929, ia pindah ke Yogyakarta, dan mengajar di Perguruan Taman Siswa, lembaga pendidikan nasionalis yang didirikan Ki Hajar Dewantara.

Setahun kemudian, pada 1930, ia kembali ke Jakarta, dan mendirikan Perguruan Rakyat di Gang Kenari, Batavia, bersama Soenario. Perguruan Rakyat menjadi wujud perjuangannya dalam mencerdaskan kaum muda Indonesia.

Ketika pendudukan Jepang tahun 1942-1945, Soegondo bekerja di kantor Shihabu (Kepenjaraan). Setelah Indonesia merdeka 1945, Soegondo masih terus berperan dalam perjalanan awal negara. Ia diangkat menjadi anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), cikal bakal lembaga legislatif Indonesia.

Pada masa pemerintahan awal Republik Indonesia, Soegondo menjabat Menteri Pemuda dan Pembangunan Masyarakat dalam Kabinet Halim dari 21 Januari hingga 6 September 1950. Jabatan ini menegaskan perannya sebagai tokoh pelopor yang berkomitmen pada pemberdayaan generasi muda.

Soegondo wafat pada 24 April 1978, dan dimakamkan di Makam Keluarga Besar Taman Siswa, Taman Wijayabrata Semaki, Yogyakarta. Dedikasinya dalam memperjuangkan persatuan dan pendidikan bangsa menjadikannya salah satu figur penting dalam perjalanan panjang kebangkitan nasional Indonesia.

2. Soenario Sastrowardoyo

Berdasarkan jurnal berjudul "Mengutip Perjalanan Soenario Sastrowardoyo dalam Menghidupkan Organisasi Kemahasiswaan Islam pada Era 4.0" oleh Fitri dkk, 2021, Soenario Sastrowardoyo lahir pada 28 Agustus 1902 di Kabupaten Madiun.

Soenario memulai pendidikannya di Frobelschool pada 1908, dilanjutkan ke Europeesche Lagere School (ELS) pada 1909, dan sempat mengenyam pendidikan di MULO. Ia kemudian pindah ke Jakarta untuk melanjutkan ke Rechtschool sambil mendalami bahasa Prancis.

Setelah lulus pada 1923, Soenario melanjutkan studi di Belanda atas biaya sendiri, dan diterima di Universitas Leiden, di mana ia berhasil meraih gelar Meester in de Rechten (Mr.) pada tahun 1925, menandai keahliannya di bidang ilmu hukum.

Selama menempuh pendidikan di Belanda, Soenario aktif dalam Perhimpunan Indonesia (PI), organisasi pelajar yang menjadi wadah perjuangan mahasiswa Indonesia di Eropa, dan menumbuhkan semangat nasionalisme di luar negeri.

Sepulangnya ke tanah air, ia membuka praktik sebagai advokat di Jakarta, dan sering membela para aktivis pergerakan yang berhadapan dengan hukum kolonial Belanda, memperlihatkan dedikasinya terhadap perjuangan kemerdekaan melalui jalur hukum.

Dalam Kongres Pemuda II tahun 1928, Soenario bertindak sebagai penasihat panitia kongres dan turut menjadi pembicara dalam sesi rapat, menyuarakan pentingnya persatuan nasionalisme dan demokrasi di kalangan pemuda.

Di forum bersejarah itulah, ia berjumpa dengan Dina Maranta Pantouw, pemeran "Ibu Pertiwi" pada malam kesenian kongres. Pertemuan itu menjadi awal kedekatan mereka hingga akhirnya menikah di Jakarta pada 1 Juli 1930.

Mereka mengikat janji suci dalam pernikahan antar-suku yang menantang pandangan kedaerahan saat itu. Pasangan ini dikaruniai lima orang anak dan berjuang bersama membangun keluarga serta cita-cita kebangsaan.

Atas jasa-jasanya yang luar biasa terhadap bangsa, Presiden Soeharto menganugerahi Soenario gelar kehormatan Mahaputera Adipradana pada 6 Agustus 1985. Soenario menunjukkan semangat pemuda yang luar biasa hingga baru pensiun dari kegiatan organisasi dan mengajar pada usia 90 tahun.

Ia meninggal dunia pada 18 Mei 1997 di usia 94 tahun, tiga tahun setelah kepergian istrinya. Soenario dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.

3. R Katjasungkana

Berdasarkan arsip pemberitaan detikJatim, R Katjasungkana lahir pada 24 Oktober 1908 di Kabupaten Pamekasan. Katjasungkana merupakan anak dari pasangan aktivis berdarah Madura, R Sosrodanukusumo lulusan terbaik Sekolah Pegawai Pangreh Praja di Probolinggo, dan Siti Rusuli putri tunggal Mohammad Seman Kiemas.

Pendidikan formalnya berlangsung dari sekolah tingkat atas (AMS) di Solo, hingga kemudian menempuh studi hukum di Recht Hogeschool Batavia sebagai mahasiswa pendengar (toehoorder).

Sejak muda, Katjasungkana menunjukkan bakat dalam dunia pers dan organisasi. Ia menjadi pimpinan redaksi koran berbahasa Belanda, Bintang Timur, yang konsisten mengkritik kebijakan pemerintah kolonial Belanda melalui tulisan-tulisan editorial dan puisi perjuangan.

Pada Kongres Pemuda II 27-28 Oktober 1928, Katjasungkana dipercaya sebagai Pembantu II dalam kepanitiaannya, sebuah peran penting yang memastikan kehadiran pemuda dari berbagai daerah, termasuk Madura, dalam perumusan ikrar kebangsaan.

Ia merupakan salah satu pendiri Jong Indonesie (Pemuda Indonesia), yang berupaya menyatukan pemuda dari seluruh nusantara dalam semangat satu bangsa, satu tanah air, satu bahasa.

Karirnya kemudian meluas ke ranah politik nasional. Ia pernah mendapat mandat dari Soekarno untuk mengampanyekan Partai Nasional Indonesia (PNI) yang dibentuk pada Juli 1927. Namun, PNI akhirnya dibubarkan karena dianggap membahayakan.

Lalu, Katjasungkana pindah ke Partai Indonesia Raya (Partindra), yang berisi kaum buruh kapal, petani, dan nelayan, sebuah langkah yang menunjukkan keterlibatannya dalam perjuangan sosial-ekonomi warga. Pada 1935, Katjasungkana diminta memberikan kursus politik di Partindra.

Ia pernah bekerja di British American Tabacco dan dikenal sebagai sosok yang kritis. Katjasungkana juga pernah dipanggil Soekarno untuk menjadi Dewan Nasional, dan diangkat menjadi anggota MPRS perwakilan Jawa Timur setelahnya.

Atas jasa-jasanya dalam perjuangan kemerdekaan dan kebangsaan, Presiden Soeharto menganugerahi Katjasungkana gelar kehormatan Mahaputera Utama pada 1987. Sebuah patungnya kini berdiri sebagai penghormatan di Museum Sumpah Pemuda, Jalan Kramat Raya 106, Jakarta Pusat.

Katjasungkana suka membaca buku berjudul Max Havelaar karya Multatuli, dan menghabiskan waktu tuanya di Parelegi untuk menyusun An Indonesian-English Dictionary as derivation from Sanskrit. Sayangnya, buku tersebut tidak tersusun sampai selesai dikarenakan ia sakit saat menulisnya.

Ia wafat pada 16 Agustus 1985. Sebelum meninggal dunia, ia berpesan agar dimakamkan di TPU Tanah Kusir, Bintaro, Jakarta Selatan. Ia ingin dimakamkan berdekatan dengan sahabatnya Mohammad Hatta.

Keluarga Katjasungkana memutuskan memindahkan makamnya setelah 26 tahun lebih. Makam Katjasungkana dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata, Jakarta Selatan.

Kisah jejak tiga pemuda dari Tuban, Madiun, dan Pamekasan ini membuktikan bahwa semangat persatuan untuk melahirkan Sumpah Pemuda adalah hasil kontribusi kolektif dari seluruh penjuru Nusantara, di mana Jawa Timur menjadi salah satu pemasok utama pemimpin pergerakan.

Artikel ini ditulis Fadya Majida Az-Zahra, peserta magang PRIMA Kemenag di detikcom.



Simak Video "Video: 'Selamat Hari Sumpah Pemuda' Menggema di X"

(irb/hil)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork