Cerita Wahyu Hidayat Adopsi Bahasa Walikan untuk Genjot Pembangunan

Cerita Wahyu Hidayat Adopsi Bahasa Walikan untuk Genjot Pembangunan

Mira Rachmalia - detikJatim
Kamis, 16 Okt 2025 19:22 WIB
Wali Kota Malang Wahyu Hidayat
Wali Kota Malang Wahyu Hidayat. (Foto: Rengga Sancaya/detikcom)
Malang -

Kota Malang dikenal dengan keunikan bahasanya Bahasa ini tidak hanya menjadi simbol identitas warga Malang, tetapi juga telah berkembang menjadi kekuatan ekonomi dan budaya lokal.

Wali Kota Malang, Wahyu Hidayat menjelaskan bahwa bahasa walikan bukan sekadar gaya bicara anak muda. Akar sejarahnya justru panjang dan sarat makna perjuangan. Bahasa walikan kini menjelma menjadi sumber inspirasi berbagai produk ekonomi kreatif dari kuliner, fesyen, hingga branding pariwisata.

Dalam sesi wawancara di program Jejak Pradana Wahyu menjelaskan bahasa walikan sudah dikenal sejak masa penjajahan. Kala itu, masyarakat Malang menggunakan bahasa ini untuk mengelabui para penjajah Belanda agar tidak memahami percakapan mereka.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Jadi supaya pembicaraan antara masyarakat Kota Malang tidak diketahui oleh Belanda saat itu, akhirnya dipakai lah bahasa Malangan, yakni bahasa Jawa yang dibalik," jelas Wahyu.

Bahasa walikan kemudian diwariskan turun-temurun hingga menjadi bagian dari keseharian masyarakat Malang. Tak semua kata bisa dibalik begitu saja, sebab dalam praktiknya ada proses adaptasi dan pembentukan makna baru.

ADVERTISEMENT

"Misalnya kata masuk bukan berarti kusam. Dalam bahasa Jawa, masuk itu mlebu, kalau dibalik jadi ublem. Atau kata bersih dalam bahasa Jawa resik, lalu berubah menjadi rijik," tambahnya.

Bahasa ini tidak hanya kreatif, tetapi juga memperlihatkan bagaimana masyarakat Malang memiliki kecerdasan linguistik yang khas dan kemampuan beradaptasi yang tinggi.

Uniknya, bahasa walikan kini juga dijadikan bagian dari komunikasi pemerintahan Kota Malang. Wahyu Hidayat bersama Wakil Wali Kota mengadopsi istilah walikan dalam menyusun "Dasa Bhakti Unggulan", sebuah program pembangunan berkelanjutan berbasis kearifan lokal.

"Saya tidak menggunakan bahasa yang sulit dipahami masyarakat, tapi menggunakan kearifan lokal. Jadi saya pakai bahasa Walikan Malangan," terang Wahyu.

Program tersebut terdiri dari sepuluh istilah yang mudah diingat oleh warga, seperti Ngalam Tahes (sehat), Ngalam Ngopeni (peduli), Ngalam Laris (ekonomi bergerak), hingga Ngalam Pinter (pendidikan).

"Pendekatan ini membuat masyarakat lebih mudah memahami program pemerintah. Misalnya Ngalam Laris berarti program ekonomi yang membuat warga lebih sejahtera," ujarnya.

Melalui bahasa walikan, Kota Malang tidak hanya mempertahankan identitas sejarahnya, tetapi juga berhasil menjadikan budaya lokal sebagai kekuatan ekonomi. Pendekatan ini membuktikan bahwa inovasi tidak selalu harus datang dari hal baru, tetapi juga bisa lahir dari warisan yang dijaga dengan bangga.

Sebagaimana disampaikan oleh Wahyu Hidayat, bahasa walikan adalah simbol bahwa warga Malang selalu punya cara unik untuk menghadapi tantangan zaman, baik pada saat masa penjajahan maupun di era ekonomi kreatif seperti sekarang.




(dpe/abq)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads