Detik-detik sebelum alat berat dikerahkan di reruntuhan Pondok Pesantren Al Khoziny, Buduran, Sidoarjo, menjadi momen paling sunyi bagi tim penyelamat. Dalam hening malam itu, mereka masih memanggil korban, berharap ada suara balasan dari balik tumpukan beton.
Suasana di lokasi reruntuhan Pondok Pesantren Al Khoziny, Buduran, Sidoarjo, pada Kamis (2/10) malam begitu hening dan menegangkan. Sebelum masuknya alat berat, tim penyelamat lebih dulu melakukan asesmen terakhir sebuah momen yang terekam dalam video dan sempat viral di media sosial.
Dalam rekaman itu terdengar suara tim penyelamat yang memanggil korban, mencoba memastikan apakah masih ada tanda-tanda kehidupan di balik tumpukan beton. Namun di balik teriakan itu, tersimpan suasana batin penuh harap, diiringi kesadaran bahwa harapan mereka mungkin menjadi yang terakhir.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Nur Hadi Santoso, rescuer Basarnas Surabaya, mengenang momen itu sebagai detik-detik yang paling sunyi sekaligus berat selama proses evakuasi.
"Kita dibagi tim, saling mengelilingi area mushola dan mendekat ke struktur bangunan. Kami mengupayakan agar seluruh area sekitar benar-benar hening, tidak ada satu pun suara keluar selain dari tim penyelamat," ujarnya.
Keheningan itu dipecah oleh suara panggilan dari para penyelamat. Dengan suara serak karena kelelahan, mereka berteriak secara bergantian, memanggil siapa pun yang mungkin masih hidup di bawah reruntuhan.
"Kami bergantian berteriak, 'Halo orang yang di dalam, kami adalah penolong! Jika mendengar suara kami, tolong jawab dengan teriakan atau ketukan benda keras di sekitar!'" kenang Gani Wiratama, rescuer Basarnas lainnya.
![]() |
Teriakan itu menjadi panggilan terakhir mereka sebelum akhirnya alat berat digunakan. Bagi para penyelamat, keputusan menggunakan alat berat bukanlah pilihan yang mudah.
Mereka tahu risiko yang menyertainya, baik bagi korban maupun bagi perasaan mereka sendiri yang selama berhari-hari menggantungkan harapan pada setiap suara yang mungkin terdengar.
"Penggunaan alat berat itu adalah upaya terakhir. Sebelum memastikan keputusan itu, kami sudah melakukan konfirmasi kurang lebih tiga kali. Harapan kami, tentu saja, bisa mengevakuasi sebanyak mungkin korban dalam keadaan selamat. Tapi kondisi berkata lain-hanya 14 orang yang bisa kami bawa keluar dalam keadaan hidup," tutur Nur Hadi dengan nada lirih.
Gani menambahkan, keputusan untuk menurunkan alat berat diambil setelah segala kemungkinan di lapangan benar-benar tertutup. Struktur bangunan yang seluruhnya terbuat dari beton membuat area di bawah reruntuhan nyaris tak bisa ditembus dengan cara manual.
"Iya, alat berat itu memang opsi terakhir kami. Karena bangunan itu seluruhnya beton, dindingnya hanya ada di sisi-sisi, sementara bagian bawahnya penuh beton. Kalau diangkat atau dihancurkan tanpa perhitungan, bisa berisiko bagi korban yang mungkin masih hidup," jelasnya.
Meski akhirnya alat berat harus digunakan, momen ketika tim penyelamat menyerukan panggilan terakhir mereka menjadi simbol perjuangan dan kepedulian yang tak lekang oleh waktu.
Di balik suara-suara yang menggema di antara puing-puing, tersimpan kisah ketulusan dan harapan agar setiap nyawa yang tertinggal tetap mendapat kesempatan untuk pulang.
(ihc/hil)