Alasan Alat Berat Dipakai Meski Belum Habis Golden Time di Ponpes Sidoarjo

Alasan Alat Berat Dipakai Meski Belum Habis Golden Time di Ponpes Sidoarjo

Aprilia Devi - detikJatim
Kamis, 02 Okt 2025 16:30 WIB
Alat berat dikerahkan ke lokasi bangunan ambruk di Ponpes Al Khoziny Sidoarjo, Senin(29/9/2025).
Alat Berat Dikerahkan ke lokasi bangunan ambruk di Ponpes Al Khoziny Sidoarjo. (Foto: Aprilia Devi/detikJatim)
Sidoarjo -

Puluhan orang diduga masih terjebak di reruntuhan bangunan Ponpes Al Khoziny yang ambruk pada Senin (29/9) sore. Basarnas pun saat ini telah menggunakan alat berat dalam proses evakuasi.

Alat berat berupa crane mulai bekerja untuk mengangkat balok-balok yang runtuh sejak siang hari tadi. Ada lima crane yang disiagakan di lokasi. Pengoperasian alat berat dimulai sejak Kamis (2/10) siang.

Padahal untuk golden time atau 72 jam sejak pertama kali terjadi insiden masih belum terlewati, sehingga peluang untuk menyelamatkan korban hidup lebih besar.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kasubdit RPDO (Pengarahan dan Pengendalian Operasi) Bencana dan Kondisi Membahayakan Manusia (KMM) Basarnas, Emi Freezer menjelaskan bahwa keputusan untuk menggunakan crane diambil setelah upaya pencarian korban melalui metode penyelamatan manual dan atas persetujuan pihak keluarga korban.

"Jadi justifikasi kenapa metode search space atau fase pencari penyelamatan ini kita alihkan ke fase apa namanya pengambilan runtuhan, adalah sudah tiga kali kami melakukan re-assesment," ujar Freezer, Kamis (2/10/2024).

ADVERTISEMENT

Proses assesment pertama dilakukan pada Rabu (1/10) malam pukul 23.30 WIB. Dalam proses itu, seluruh area disterilisasi. Hal ini bertujuan untuk menghindari ketidakakuratan hasil deteksi dari alat pencari korban hidup.

"Karena alat ini daya tangkapnya bisa sampai 50 meter radiusnya dari alat. Jadi kalau ada orang beraktivitas di situ akan tertangkap di dalam detektor dan ini akan membuat kita multitafsir menganggap bahwa ada yang hidup. Padahal itu orang lain yang ada di sekitar," bebernya.

Tim penyelamat menggunakan berbagai metode dan alat dalam proses ini. Metode pertama adalah hailing atau pemanggilan manual, disusul dengan penggunaan search cam yang mampu menjangkau hingga 5 meter ke dalam celah reruntuhan. Namun hasilnya nihil, hanya berupa rekaman video.

Selanjutnya, digunakan alat wall scan saver 400 yang dapat menembus tembok dengan jangkauan 20 meter dan mampu mendeteksi tanda-tanda kehidupan seperti suhu tubuh, detak jantung, serta gerakan.

Alat ini juga bisa menunjukkan jumlah orang yang mungkin masih ada di dalam reruntuhan berdasarkan kode warna dari gerakan yang dapat terdeteksi.

Terakhir, multi search scanning digunakan untuk mendeteksi gerakan halus di permukaan keras, baik secara visual maupun seismik. Namun, dari semua upaya tersebut, tetap ada sinyal yang menunjukkan keberadaan korban hidup.

Re-assesment kedua dilakukan dini hari pukul 02.00 WIB pada Kamis (2/10), dan yang ketiga dilakukan pukul 07.00 WIB pagi harinya. Ketiganya menghasilkan kesimpulan yang sama yakni tidak tanda-tanda kehidupan di bawah reruntuhan bangunan.

"Kami sudah laporkan hasil scanning ini ke Kepala Basarnas dan dari Kepala Basarnas sudah di-sounding, kemudian dilakukan lah rapat konsolidasi tingkat pimpinan untuk mengambil langkah-langkah selanjutnya," lanjut Freezer.

Dari hasil rapat itulah diputuskan untuk beralih ke fase craning, yakni pengangkatan puing-puing menggunakan alat berat crane secara hati-hati.

Basarnas menegaskan bahwa alat berat yang digunakan bukanlah dozer, melainkan crane untuk mengangkat bagian-bagian bangunan.

"Bolehlah kita bisa sampaikan crane fase, fase craning. Jadi kita menggunakan crane, tidak menggunakan dozer," tegasnya.

Dalam proses ini, puing-puing yang tidak terkoneksi akan diangkat terlebih dahulu. Jika ada balok besar yang beratnya lebih dari 5 ton, akan dilakukan pemotongan terlebih dahulu. Setiap pengangkatan akan diikuti dengan proses scanning ulang untuk mengecek apakah terdapat korban di bawah struktur yang telah diangkat.

Langkah ini diambil juga dengan pertimbangan kondisi korban yang diperkirakan berada di bawah balok besar di lantai dasar sektor A2.

"Dan kami sampaikan tujuh orang yang ada di sektor A2 posisinya berada di lantai dasar. Dan itu posisinya di bawah himpitan balok besar. Tidak bisa dievakuasi kalau tidak struktur atas ini diangkat. Itu yang pertama," paparnya.

Selain itu, urgensi lainnya atas keputusan evakuasi dengan alat berat adalah faktor waktu yang mempengaruhi kondisi jenazah korban. Tim SAR memperhitungkan fase dekomposisi yang bisa memberikan risiko biologis dan kimiawi, baik bagi tim evakuasi maupun lingkungan sekitar.

"Karena fase dekomposif, pembusukan. Busuk itu dari fase satu kurang dari 12 jam. Kemudian fase kedua kurang dari 24 jam. Fase ketiga lebih dari 48 jam akan terjadi penyebaran hal yang dapat memberikan dampak. Itu karena ini adalah unsur kimiawi dan biologis yang dikeluarkan," terang Freezer.

Ditambah dengan kondisi suhu di sekitar lokasi yang cukup panas dan para petugas berada dalam situasi berkeringat, risiko penularan zat biologis melalui udara maupun kontak langsung menjadi perhatian serius.

Lebih lanjut, Kepala BNPB Letjen TNI Dr. Suharyanto memastikan kesiapan petugas dalam proses evakuasi ini.

"Untuk personil yang punya keahlian khusus menggunakan pakaian khusus hazmat ya itu ada 219 orang," kata Suharyanto.

Sebanyak 300 kantong jenazah juga disiapkan untuk membawa bagian-bagian tubuh korban yang kemungkinan tertimpa reruntuhan.

"Kemudian ambulans juga sudah siap 30 unit. Jadi begitu nanti ditemukan korban jenazah langsung diangkut masukan kantong mayat langsung dibawa ke rumah sakit Siti Hajar, nanti di DVI (disaster victim identification) di rumah sakit," lanjutnya.

Petugas juga menyiapkan 30 unit dump truck untuk mengangkut puing-puing reruntuhan maupun benda-benda yang ditemukan dalam proses evakuasi.

"Tentu saja ini dievaluasi terus-menerus, kami ada di sini sampai selesai," pungkas Suharyanto.

Halaman 2 dari 2
(auh/hil)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads