Sekelompok pria yang diduga preman mendatangi dan mengintimidasi serta mengusir pekerja sebuah pabrik garmen di Surabaya. Aksi ini sempat viral di media sosial.
Informasi yang dihimpun detikJatim, peristiwa itu terjadi pada Selasa (16/9/2025), tepatnya di pabrik garmen CV Variatexindo Jalan Kedurus II nomor 42B/98, Kelurahan Kedurus Kecamatan Karangpilang Surabaya.
Peristiwa tersebut juga sempat mendapat atensi Wali Kota Surabaya Armuji. Ia bahkan sempat mendatangi pabrik tersebut untuk mengecek kebenarannya setelah viral.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Helen Lanawati Halim, pemilik pabrik garmen CV Variatexindo buka suara terkait hal itu. Ia membenarkan peristiwa yang viral tersebut dan telah didatangi Wakil Walikota Surabaya Armuji.
Hellen mengatakan aksi tersebut dilakukan oleh seorang pria berinisial HH. Yang tak lain adalah mantan suaminya usai berpisah sejak 2009 silam.
"Sebelum ramai seperti ini, sebenarnya kasus ini berawal sebelum kita bercerai, di tahun 2009. Lalu, sebelum ramai dan viral di medsos, pada 30 Agustus 2025 sudah terjadi intimidasi, saat itu posisi saya sedang di luar kota, sedang jemput bola orderan ke konsumen demi pabrik saya bisa jalan, demi 60 pegawai saya bisa kerja, karena kalau karyawan tidak kerja itu beban ke saya," kata Helen kepada detikJatim, Jumat (19/9/2025).
Helen menjelaskan usai ia bercerai, ia disomasi oleh HH. Meski telah menyepakati hibah yang diberikan kepada kedua buah hatinya.
"Moro-moro (tiba-tiba) HH somasi saya bahwa dia akan eksekusi mandiri. Tapi, sebelum bercerai, Februari tahun 2009, saya dan dia kan sepakat menghibahkan aset pada anak-anak, tapi karena pernikahan tidak bisa dipertahankan lalu surat cerai april 2009 keluar, setelah itu dia masih ada di pabrik dan saya tidak mengusir. Lalu tahun 2010, dia datang marah-marah dan mengintimidasi seperti yang kemarin viral itu," ujarnya.
Helen mengaku dirinya dan 2 anaknya kerap diintimidasi setiap hari usai bercerai. Bahkan, hingga saat ini. Karena itu lah, ia mengaku terpaksa setuju untuk pembagian hibah. Meski, lanjut Helen, tanpa melalui pihak ketiga atau appraisal.
"Setelah itu saya bilang saya minta uang saja tidak minta aset, tapi anak saya tidak mau ikut papanya, lalu dia marah lagi dan saya bingung mau cari duit ke mana-mana, akhirnya saya utang ke saudara, bank, dan ke mana-mana, lalu saya buka giro di tahun 2011, lalu saya mencicil setiap tahun, saya punya rekening pencairan dan ada buktinya, lalu saya digugat ke PN Surabaya dengan catatan alasannya dia khilaf dengan pembagiannya," paparnya.
"Saat itu di PN Surabaya saya menang, tapi setelah itu di PT (pengadilan tinggi) sampai MA (Mahkamah Agung) saya kalah, putusannya kembali seperti semula. tapi pengadilan tidaka membatalkan hibah karena kan tidak bisa dibatalkan, karena itu kan kesepakatan antara saya sama pak HH, akhirnya hibah ini hidup karena di akte perdamaian yang kami buat menyebutkan bahwa perjanjian-perjanjian apapun yang sebelumnya dilakukan gugur karena adanya perdamaian ini, tapi perdamaian ini dibatalkan oleh pengadilan atas gugatan mantan suami saya sendiri, dan sekarang hibah itu hidup," imbuh dia.
Helen menerangkan saat kejadian itu berlangsung, dirinya tidak ada di tempat. Berdasarkan keterangan dari para pegawainya, HH bersama sejumlah rekannya langsung masuk begitu saja.
"Awalnya satpam tidak buka pintu, lalu HH memaksa masuk bilang sambil marah dan bilang kalau dia pemiliknya. Karena takut itu pintu dibuka dan mantan suami saya sama orang-orang yang diduga preman dari HH itu langsung masuk, mereka diduga mengintimidasi ke para pegawai sambil menunjuk-nunjuk dan bilang 'Kalau 30 menit tidak keluar, saya gembok'," jelasnya.
"Ada pegawai saya yangketakutan, pingsan, dan laporan ke saya, mereka stres karena banyak orang-orang cowok berbadan besar yang mengintimidasi. Setelah dapat informasi itu saya langsung ngebut karena takut pegawai-pegawai dan anak-anak saya di apa-apakan, karena dia kan bekerja dan tidak tahu apa-apa. Setelah itu mantan suami saya meninggalkan lokasi, kemudian pas saya datang hanya ada 3 orang yang diduga preman itu. lokasi itu kan milik saya, lalu saya sampaikan ke para terduga preman itu kalau saya ada surat resmi punya saya, lalu mereka hanya menyampaikan ada surat kuasa dari HH, tapi tidak ada surat eksekusi dari pengadilan maupun dari kepolisian," sambungnya.
Sebelum ramai dan viral hingga dimediasi oleh Armuji, wanita yang memiliki 2 anak itu menyatakan pihaknya telah mengajukan gugatan perdata. Menurutnya, kedua anaknya meminta kepada PN Surabaya agar mengesahkan hibah sesuai kesepakatan antara Helen dan HH.
Dalam situs resmi SIPP PN Surabaya, terlampir telah Helen mengajukan gugatan pada HH terkait Perbuatan Melawan Hukum dengan Nomor Perkara617/Pdt.G/2025/PN Sby pada Selasa (3/6/2025). Pun dengan kedua anaknya, yakni Jessisca Hokky Handojo dan Richard Hokky Handoyo yang mengajukan gugatan perkara Wanprestasi pada 12 Juni 2025 dengan nomor perkara 638/Pdt.G/2025/PN Sby dan Perbuatan Melawan Hukum pada 9 Jul 2025 dengan nomor perkara 743/Pdt.G/2025/PN Sby.
"Kedua anak saya sudah melakukan upaya hukum untuk pengesahan hibahnya mereka di PN Surabaya, saya termasuk tergugat juga, saya sampaikan ke HH saat ada keributan itu setelah dipanggil dan dimediasi oleh Polsek Karangpilang, saya minta menunggu karena ada proses hukum dari anak-anak yang meminta pengadilan mengesahkan hibahnya. Padahal uang yang dibawa HH itu sudah diputuskan ke pengadilan itu harus kembali ke saya secara tunai. Tapi, saya tidak pernah seperti dia mengajak preman, mengeksekusi mandiri, mengintimidasi dan lain sebagainya seperti yang dilakukan HH, saya patuh dengan hukum," sebutnya.
Helen mengklaim upaya eksekusi pabriknya tersebut melanggar hukum. Sebab, tak melalui prosedur hukum yang baik dan benar.
"Setelah kejadian itu, HH menempelkan stiker warna kuning, itu juga dibuat sendiri oleh HH, karena pengadilan tidak mengeluarkan itu. Karena kalau ada eksekusi atau saya kesalahan kan, saya pasti disurati terlebih dulu oleh pengadilan, seperti pengosongan dan lain sebagainya, faktanya putusan pengadilan juga tidak mencatat seperti itu," ungkapnya.
Merasa tak terima dengan ulah HH, Helen beserta penasihat hukumnya, Syaiful Maarif mengadukan peristiwa itu ke Satreskrim Polrestabes Surabaya. Helen mengaku dirinya beserta keluarga dan para pegawai merasa terancam.
"Saya ingin ada pengamanan agar terbebas dari preman-premannya HH ini, karena meski ada perkara perdata, terus perlindungan untuk saya dan anak-anak saya bagaimana? Soalnya saya kan takut kalau orangnya sampai datang ke rumah, masa iya polisi bertindak setelah menunggu ada korban. Lalu saya membuat pengaduan dan laporan ke Unit Resmob Satreskrim Polrestabes Surabaya, pada tanggal 2 September 2025 saya membuat surat aduan, lalu saya dipanggil dan dimintai tambahan klarifikasi," tuturnya.
Tak berhenti sampai di situ, pegawai Helen berupaya membantu dengan membuat pengaduan ke rumah Aspirasi agar didengar Wakil Walikota Surabaya Armuji. Di sana, Helen bersama para pekerjanya menyampaikan fakta yang telah terjadi di pabrik garmen tersebut.
"Pas mengadu ke Pak Armuji, itu sebenarnya ide para pegawai saya, mereka takut kalau ada lagi (intimidasi) bagaimana? Tapi, saya tetap berusaha menguatkan mereka. Setelah bertemu Pak Wawali (Armuji), beliau menerima kami dengan baik, lalu beliau sidak ke lokasi pada hari Selasa (16/9/2025), tapi HH tidak datang, ada kuasa hukumnya HH saja. Tapi luar biasa, pak Wawali sampai menunggu dan sudah bertemu, tapi ya begitu tidak ada titik temu. Cuma, pesannya Pak Wawali ke mantan suami saya 'Tidak bisa kamu melakukan ini sendiri, semua ada prosedur hukumnya, melalui pengadilan'. Lalu, saya sampaikan ke apak Wawali 'Pak, biarkan kami bekerja seperti biasa, supaya saya bisa bayar hunga bank sembari menunggu proses hukum berjalan', karena ada 23 sertifikat aset, 12 ini aset hibah ke anak-anak, 8 itu aset yang saya beli setelah saya cerai. jadi, ini bukan harta gono gini, tapi hibah," bebernya.
"Nah hibah ini digugat oleh 2 anak saya bahwa aset setelah perceraian kan tidak bisa masuk di dalamnya, tidak ada itu hadiah dari kakaknya, itu saya pure bayar, tidak ada hadiah pernikahan dan lain sebagainya," sambungnya.
Maka dari itu, Helen berharap apa yang dialaminya bisa segera mendapat jalan keluar. Serta perlindungan hukum dari aparat penegak hukum dan Pemkot Surabaya.
"Semoga semuanya cepat selesai, supaya saya bisa bayar utang bank sejak 1998 yang jumlahnya miliaran di berbagai bank oleh HH, itu saya yang menanggung. Pak Armuji juga sudah menyampaikan memang tidak bisa HH melakukan seperti itu, tetap harus melalui pengadilan," tutupnya.
(auh/abq)